Kontroversi Penggunaan Bahasa Lokal dalam Bacaan Shalat: Antara Keabsahan dan Kearifan Islam Nusantara
--
JAKARTA, RADARTVNEWS.COM - Kontroversi penggunaan bahasa lokal dalam bacaan shalat menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam di Indonesia, khususnya terkait keabsahan dan kearifan Islam Nusantara.
Secara tradisional, shalat wajib dilaksanakan dengan bacaan dalam bahasa Arab sesuai tuntunan Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau, “Kerjakanlah shalat sebagaimana kalian melihatku melakukannya” (HR. Bukhari).
Hal ini menjadi dasar bagi mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali yang menegaskan bahwa bacaan shalat harus menggunakan bahasa Arab agar sah.
Namun, ada pandangan berbeda dari mazhab Hanafi yang membolehkan penggunaan bahasa selain Arab, termasuk bahasa Indonesia, terutama bagi mereka yang belum mampu melafalkan bacaan Arab dengan baik.
Menurut Prof. Dr. Salman Harun dari UIN Syarif Hidayatullah, salat dengan bahasa Indonesia sah-sah saja jika dilakukan dalam kondisi darurat atau untuk menambah kekhusyukan, meskipun tetap dianjurkan agar umat Islam belajar bahasa Arab agar dapat mengikuti shalat sesuai sunnah Nabi.BACA JUGA:Tata Cara Zakat Digital: Hukum dan Praktik yang Masih Diperdebatkan di Era Teknologi
Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) secara tegas menolak praktik shalat dua bahasa (Arab dan Indonesia) karena dianggap melanggar kaidah shalat dan dapat membatalkan ibadah.
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi bahkan menegaskan bahwa hal ini harus ditangani aparat hukum karena menyangkut kesucian ibadah dan penyimpangan dari ajaran Islam yang benar
Dari sisi kearifan Islam Nusantara, penggunaan bahasa lokal dalam konteks dakwah dan pemahaman agama memang penting untuk memperkuat iman dan memudahkan umat memahami makna bacaan shalat.
Namun, dalam pelaksanaan shalat itu sendiri, mayoritas ulama menekankan pentingnya mengikuti tata cara yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW, yakni menggunakan bahasa Arab.
Dalam kondisi ketidakmampuan membaca Arab, umat dianjurkan untuk berzikir atau membaca ayat lain yang dihafal dalam bahasa Arab, bukan menggantinya dengan bahasa lokal.
Dalil yang mendasari keharusan menggunakan bahasa Arab dalam shalat antara lain QS. Al-Muzammil ayat 20 yang memerintahkan membaca sebagian ayat Al-Qur’an dalam shalat, serta hadis yang melarang berbicara selain bacaan yang diajarkan saat shalat karena dapat membatalkan ibadah.
Dengan demikian, meskipun ada ruang dialog dan pengertian atas kesulitan umat, keabsahan shalat tetap harus merujuk pada tuntunan Nabi dan ijma’ ulama.BACA JUGA:Menimbang Hukum Nikah Siri di Indonesia: Perspektif Syariah dan Regulasi Negara
Kontroversi ini mencerminkan dinamika Islam Nusantara yang berusaha menyeimbangkan antara keaslian syariat dan konteks budaya lokal.
Pendekatan yang bijak adalah mengedepankan pendidikan bahasa Arab agar umat dapat menjalankan shalat dengan benar sekaligus memanfaatkan bahasa lokal untuk dakwah dan penguatan iman di luar ritual shalat, sesuai prinsip komunikasi Islam yang menekankan kejujuran, keterbukaan, dan tujuan mulia dalam menyebarkan ajaran agama.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
