Mengapa Kita Suka Belanja Saat Stres? Ini Penjelasannya
Ilustrasi --ISTIMEWA
RADARTVNEWS. COM - Ketika stres datang entah karena tekanan pekerjaan, masalah keluarga, atau sekadar kelelahan mental banyak orang tanpa sadar memilih aktivitas belanja sebagai cara untuk menenangkan diri. Fenomena ini dikenal sebagai retail therapy, yaitu dorongan membeli sesuatu untuk memperbaiki suasana hati. Meski terdengar sepele, perilaku ini sebenarnya memiliki dasar psikologis yang cukup kuat. Ketika seseorang membeli barang yang diinginkan, tubuh akan melepaskan dopamin, yakni hormon yang berkaitan dengan rasa senang dan puas.
Proses ini membuat otak mencatat belanja sebagai aktivitas yang mengurangi ketegangan, sehingga wajar bila orang terdorong mengulanginya ketika perasaan tidak nyaman muncul kembali. Di sisi lain, stres seringkali muncul karena seseorang merasa tidak memiliki kendali atas situasi hidupnya. Menariknya, belanja justru memberikan sensasi kontrol: seseorang memilih barang, membuat keputusan, dan memegang hasil keputusan tersebut secara nyata. Pada saat tekanan hidup terasa membingungkan, tindakan sederhana seperti membeli sepatu, pakaian, atau barang rumah tangga dapat memberikan rasa bahwa masih ada hal-hal yang bisa dikendalikan.
BACA JUGA:Black Friday 2025: Tradisi Belanja Terbesar Kembali Warnai Amerika
Selain aspek emosional, faktor sosial juga berpengaruh. Belanja bukan hanya soal membeli barang, tetapi juga aktivitas rekreatif. Banyak orang menggunakan waktu berkunjung ke pusat perbelanjaan sebagai jeda dari rutinitas. Suasana mall yang terang, musik, aroma, atau sekadar melihat etalase dapat mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang dihadapi. Gangguan pada fokus emosional dapat menurunkan kecemasan sementara, sehingga kegiatan “melihat-lihat” saja pun dapat memberikan efek menenangkan tanpa perlu mengeluarkan uang. Tidak heran bila sebagian orang merasa lebih tenang setelah berkeliling toko atau melakukan window shopping.
Namun, penggunaan belanja sebagai pereda stres tentu memiliki risiko. Efek dopamin bersifat sementara, sehingga rasa lega yang muncul biasanya akan memudar dalam waktu singkat. Akibatnya, sebagian orang terdorong untuk membeli lebih banyak demi mempertahankan perasaan nyaman tersebut, tanpa menyadari konsekuensi jangka panjang. Financial Times pernah menyoroti bahwa perilaku belanja impulsif dapat berkembang menjadi kebiasaan tidak sehat yang berujung pada masalah keuangan, terutama ketika seseorang menggunakan kartu kredit atau paylater tanpa kontrol. Ketika utang muncul dan tekanan finansial bertambah, stres justru meningkat dan memicu siklus yang sama berulang lagi.
BACA JUGA:Gaya Hidup Ramah Lingkungan: Belanja Pakai Tas Kain Jadi Tren Baru
Para psikolog menekankan bahwa memahami penyebab stres adalah langkah penting sebelum mencari pelampiasan. Belanja tidak harus dihindari sepenuhnya, tetapi perlu ditempatkan sebagai aktivitas rekreatif yang terukur, bukan pelarian dari masalah. Aktivitas alternatif seperti olahraga, journaling, tidur berkualitas, meditasi, atau berbicara dengan teman dipercaya dapat memberikan efek lebih stabil untuk kesehatan mental. Jika stres terus meningkat dan mulai mengganggu aktivitas harian, mendapatkan bantuan profesional dianggap langkah yang lebih efektif daripada sekadar mencari pelipur lara lewat belanja.
Pada akhirnya, belanja saat stres adalah respons manusiawi yang dipengaruhi biologi, psikologi, dan lingkungan sosial. Selama dilakukan dengan kesadaran dan batasan yang sehat, belanja tetap dapat menjadi ruang jeda yang bermanfaat. Namun, keseimbangan dan kendali diri tetap menjadi kunci agar “retail therapy” tidak berubah menjadi masalah baru.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
