Perempuan Indonesia Jadi Korban Kekerasan di Pusat Judi Online Kamboja, Diperdaya, Disiksa, dan Diperkosa
--
RADARTVNEWS.COM - Seorang perempuan muda asal Indonesia, yang disamarkan dengan nama Ita, menceritakan pengalaman kelamnya saat bekerja di sebuah pusat perjudian daring di Kamboja dari akhir 2023 hingga pertengahan 2024.
Dalam wawancaranya dengan jurnalis BBC News Indonesia, Amahl Azwar, Ita mengaku mengalami penyiksaan fisik, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan selama satu bulan penuh setelah dianggap gagal memenuhi target kerja sebagai admin judi.
Ita mengungkapkan bahwa ia dianiaya secara brutal oleh beberapa pria yang juga bekerja di tempat tersebut. Para pelaku tak hanya mengikat tubuhnya saat melakukan tindakan bejat, tetapi juga merekam kekerasan tersebut dan mengancam menyebarkannya jika ia berani melapor.
Pengalaman buruk Ita bermula ketika ia menerima tawaran pekerjaan dari mantan kakak kelasnya, yang menjanjikan posisi di bidang keuangan dengan gaji yang cukup tinggi di Bali. Tanpa curiga, Ita menyerahkan dokumen pribadinya dan dibuatkan paspor.
Namun, alih-alih dikirim ke Bali, ia justru diterbangkan ke Malaysia dan kemudian ke Phnom Penh, Kamboja. Di sana, Ita baru menyadari bahwa ia dijebak untuk bekerja sebagai admin di situs judi online, bukan pekerjaan yang sebelumnya dijanjikan.
Sesampainya di Kamboja, paspor Ita langsung disita dan ia diharuskan bekerja dari pagi hingga malam. Awalnya, ia masih dapat berkomunikasi dengan keluarganya dan bekerja secara "normal", meski dalam tekanan.
Namun, kondisi memburuk saat ia gagal mencapai target kerja. Ia dikurung di sebuah gudang selama sebulan, hanya diberi makan dua hari sekali, dan menjadi korban kekerasan seksual berulang kali oleh dua hingga tiga pria secara bergantian.
Tidak hanya Ita, menurut data Kementerian Luar Negeri RI, ribuan WNI menjadi korban sindikat judi dan penipuan online, dengan Kamboja sebagai negara dengan jumlah kasus terbanyak. Dari 7.628 laporan sejak 2021 hingga Maret 2025, sebanyak 4.300 di antaranya terjadi di Kamboja. Sementara Myanmar menempati posisi kedua dengan 1.187 kasus.
Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM sekaligus pendiri Migrant Care, menegaskan bahwa perempuan Indonesia yang terjebak dalam jaringan ini mengalami eksploitasi berlapis—baik secara ekonomi, fisik, maupun seksual.
Menurut Anis, akar dari kejahatan ini adalah relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, di mana pelaku memanfaatkan dominasi mereka untuk menekan dan mengontrol para pekerja.
Cerita serupa juga dialami Nisa, 35 tahun, yang direkrut oleh teman lamanya melalui media sosial. Terdesak oleh kondisi ekonomi dan tekanan hidup pasca perceraian, Nisa menerima tawaran tersebut.
Ia dijanjikan pekerjaan di luar negeri, namun begitu tiba di Kamboja, ia dipaksa menandatangani kontrak kerja selama setahun dan dipekerjakan sebagai penipu melalui sambungan telepon dengan modus mengaku sebagai petugas layanan pelanggan perusahaan telekomunikasi.
Nisa menyaksikan kekerasan terhadap rekan-rekannya yang gagal menipu. Ia sendiri kerap mendapat tugas lebih banyak karena kemampuannya dalam berbicara tanpa logat daerah. Eksploitasi dan tekanan psikologis yang dialami para pekerja sangat berat, ditambah dengan kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi.
Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyebut bahwa dari 699 WNI yang dipulangkan dari Myanmar antara Februari dan Maret 2025, setidaknya 10 orang melaporkan telah mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
