BANNER HEADER DISWAY HD

Produktif atau Panik? Ketika Kecemasan Menyamar Jadi Semangat Kerja

Produktif atau Panik? Ketika Kecemasan Menyamar Jadi Semangat Kerja

Produktif atau Panik? Ketika Kecemasan Menyamar Jadi Semangat Kerja--Foto : Pinterest

RADARTVNEWS.COM- Di era media sosial dan budaya hustle, kata “produktif” telah menjadi mantra harian bagi banyak orang. Tak jarang, kita merasa bersalah ketika tidak bekerja, tidak mencatat to-do list, atau sekadar beristirahat. Namun, pertanyaannya kini mengemuka: apakah keinginan untuk selalu produktif sebenarnya didorong oleh kecemasan yang terselubung?

Budaya Hustle dan Obsesi terhadap Produktivitas

Istilah “hustle culture” atau budaya kerja tanpa henti mencuat sejak era digital menormalisasi kerja 24/7. Kalimat seperti “grind now, shine later” atau “tidur untuk yang lemah” menjadi semacam kebanggaan tersendiri, terutama di kalangan anak muda, entrepreneur, dan pekerja kreatif.

Namun, pakar psikologi menyebut bahwa pola pikir seperti itu bisa menyembunyikan tekanan mental serius. “Sering kali, orang bekerja terus-menerus bukan karena mereka mencintai pekerjaan itu, tapi karena takut dianggap gagal, takut tertinggal, atau takut menghadapi dirinya sendiri saat diam,” ujar Psikolog Klinis, Dr. Nadia Pramesti, dalam wawancara dengan Detik Health.

“Produktif” Sebagai Pelarian dari Kecemasan

Fenomena ini bukan hanya psikologis, tapi juga sosial. Di tengah ekonomi yang tak pasti, PHK massal, dan tuntutan sosial media untuk “sukses di usia muda”, banyak orang merasa harus terus bergerak agar tidak ketinggalan.

Menurut survei dari WeWork Global (2024), 64% pekerja milenial dan Gen Z mengaku merasa bersalah saat sedang istirahat, karena merasa waktu luang adalah “waktu yang sia-sia”. Ironisnya, 70% dari mereka juga melaporkan gejala burnout, kecemasan, dan kelelahan kronis.

“Kita mengira kita produktif, padahal sebenarnya kita cemas tidak terlihat cukup bernilai,”

– Andra Harsanto, penulis buku The Anxious Overachiever

Media Sosial Memperkuat Ilusi

Instagram, LinkedIn, dan TikTok kini menjadi etalase pencapaian. Setiap unggahan tentang kerja larut malam, rapat nonstop, atau pencapaian target bulanan memperkuat standar sosial bahwa “sibuk = sukses”.

Namun menurut Dr. Irfan Malik, ahli kesehatan mental dari Universitas Indonesia, ini menciptakan “lingkaran kecemasan produktif”:

“Seseorang bisa jadi tidak takut gagal secara objektif, tapi cemas karena takut tidak terlihat berhasil.”

Istirahat Bukan Kemunduran

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: