Pemerkosaan Massal 1998: Perempuan Tionghoa dan Derita yang Disangkal
--
Secara ekonomi, masyarakat Tionghoa dikenal memiliki posisi yang relatif kuat dan dianggap menguasai sektor perdagangan dan bisnis, sehingga menjadi sasaran kemarahan dan kecemburuan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Secara sosial-politik, mereka mengalami marginalisasi dan diskriminasi, yang memicu sentimen negatif dan stereotip yang melekat.
Dalam konteks budaya patriarki, perempuan dipandang sebagai simbol kehormatan dan identitas kelompok etnisnya.
Oleh karena itu, kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa tidak hanya bertujuan untuk melukai individu, tetapi juga sebagai bentuk teror yang menghancurkan kehormatan dan keberadaan komunitas mereka secara kolektif.
Trauma dan Dampak Berkepanjangan
Dampak tragedi ini sangat luas, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikis. Banyak korban mengalami trauma mendalam, gangguan psikologis berat, bahkan hingga kini masih sulit berinteraksi dengan laki-laki atau berada di ruang publik.
Sebagian korban memilih meninggalkan Indonesia demi mencari rasa aman dan memulai hidup baru di luar negeri. Bagi keluarga korban, rasa kehilangan, ketidakadilan, dan stigma sosial menjadi beban yang terus mereka pikul.
Respons Negara dan Kontroversi Politik
Pemerintah pada masa Presiden B.J. Habibie mengakui terjadinya pemerkosaan massal dan membentuk TGPF untuk mengusut kasus ini. Salah satu rekomendasi TGPF adalah pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998 sebagai lembaga negara yang fokus pada perlindungan korban kekerasan berbasis gender.
Namun, hingga lebih dari dua dekade berlalu, belum ada satu pun pelaku yang diadili. Proses hukum macet, banyak korban dan saksi mengalami intimidasi, bahkan ada yang terbunuh secara misterius.
Kontroversi kembali mencuat ketika sejumlah pejabat negara, termasuk Menteri Kebudayaan Fadli Zon, menyatakan bahwa pemerkosaan massal 1998 hanya rumor dan "tidak ada bukti kuat" yang mendukung klaim tersebut.
Pernyataan inilah yang menjadi sumbu pemantik mencuatnya kasus ini lagi, sehingga memicu gelombang protes dari korban, keluarga korban, serta Komnas Perempuan yang menilai penyangkalan tersebut sebagai bentuk kekerasan berulang dan impunitas negara terhadap pelanggaran HAM berat. Komnas Perempuan menegaskan bahwa laporan TGPF merupakan dokumen resmi negara yang mengakui adanya kejahatan kemanusiaan dalam tragedi Mei 1998.
Ingatan Kolektif dan Tuntutan Keadilan
Tragedi pemerkosaan massal Mei 1998 menjadi luka kolektif yang belum sembuh bagi bangsa Indonesia. Setiap tahun, para penyintas, keluarga korban, dan aktivis HAM menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara, menuntut negara untuk mengakui, mengusut tuntas, dan memulihkan hak-hak korban.
Mereka menolak upaya pemutihan sejarah dan menuntut agar tragedi ini tidak dilupakan atau dihapus dari ingatan kolektif bangsa.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
