Hutang RI Menanjak, ASEAN Ingatkan Potensi Krisis Sosial - Ekonomi
--Freepik
BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - Kekhawatiran sejumlah negara ASEAN terhadap kondisi fiskal Indonesia belakangan ini bukan tanpa alasan. Dengan rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB yang terus meningkat meski masih di bawah batas aman 60% menurut Undang-Undang Keuangan Negara tren kenaikan utang yang konsisten, ditambah lemahnya efisiensi belanja, menimbulkan kecemasan bahwa Indonesia mungkin tengah melaju menuju krisis keuangan yang lebih dalam dari yang terlihat di permukaan. Terlebih, transisi kekuasaan ke pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto menambah beban ekspektasi terhadap pengelolaan fiskal yang lebih hati-hati dan berkeadilan.
Dalam beberapa waktu terakhir, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa utang pemerintah per Mei 2025 mencapai lebih dari Rp 8.200 triliun. Sementara itu, beban bunga utang yang terus membengkak menyerap hampir 20% dari total belanja negara, sebuah angka yang membuat pengeluaran untuk sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial semakin tertekan.
Pengamat fiskal, seperti Bhima Yudhistira dari CELIOS, menyebut bahwa pola pembangunan yang masih berorientasi pada utang dan proyek-proyek infrastruktur masif tanpa perhitungan dampak sosial jangka panjang dapat memicu ketidakpercayaan baik dari rakyat maupun komunitas internasional.
BACA JUGA:Dari Gaji Hingga Hutang: BI Akan Lacak Lewat Payment ID Berbasis NIK
Sinyal kekhawatiran ini ditangkap secara jelas dalam Forum Ekonomi ASEAN yang digelar bulan Juli 2025 di Singapura. Dalam forum tersebut, beberapa perwakilan negara menyuarakan kegelisahan bahwa lonjakan utang Indonesia bisa memicu efek domino di kawasan jika tidak ditangani dengan kebijakan yang hati-hati. Indonesia dianggap sebagai jangkar ekonomi regional, dan apabila pondasi fiskalnya goyah, maka stabilitas keuangan ASEAN secara keseluruhan bisa terdampak.
Masalah hutang ini bahkan mulai terasa hingga tingkat pemerintah daerah. Di sejumlah wilayah, termasuk Pati, Jawa Tengah, beban fiskal pemerintah pusat mengakibatkan transfer ke daerah semakin ketat. Ini berdampak pada peningkatan pajak lokal yang ekstrem dalam kasus Pati, pajak reklame dinaikkan hingga 250%. Kenaikan ini memicu aksi protes luas dari pelaku UMKM dan pemilik usaha, yang merasa keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Sila Kelima Pancasila telah dilanggar secara terang-terangan. Ketika prinsip sila ke- 5 tidak lagi dirasakan di tingkat paling bawah, kepercayaan terhadap pemerintah mulai tergerus.
Kasus di Pati bisa menjadi cermin sekaligus peringatan keras bagi daerah lain di Indonesia. ASEAN, sebagai kawasan yang menjunjung stabilitas bersama, mengirimkan sinyal bahwa Indonesia tidak bisa terus menutup mata terhadap risiko fiskal yang sedang dibangun. Alih-alih mengandalkan utang jangka panjang dan narasi optimisme tanpa dasar, pemerintah perlu meninjau ulang prioritas belanja negara. Pemotongan belanja tidak produktif, evaluasi proyek infrastruktur besar yang mangkrak, serta peningkatan belanja sosial dan perlindungan masyarakat rentan adalah langkah-langkah strategis yang harus segera dijalankan.
BACA JUGA:Kenapa Sih yang Berhutang Lebih Galak Dari Pada yang Menghutangi? Cek Alasan Yang Logis dan Mendasar
Di saat yang sama, masyarakat sipil perlu memperkuat peran pengawasan mereka. Transparansi anggaran, partisipasi publik dalam perencanaan fiskal, serta penguatan lembaga pengawas seperti BPK dan KPK sangat krusial untuk memastikan bahwa uang rakyat tidak jatuh ke dalam lubang korupsi atau kesalahan alokasi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
