BANNER HEADER DISWAY HD

MK: Pemilih Dapat Ajukan Keberatan ke Parpol Jika Anggota DPR Dinilai Tidak Layak

MK: Pemilih Dapat Ajukan Keberatan ke Parpol Jika Anggota DPR Dinilai Tidak Layak

-ANTARA Foto-

RADARTVNEWS.COMMahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa masyarakat dapat menyampaikan keberatan kepada partai politik apabila menilai anggota DPR atau DPRD tidak lagi layak menjabat. Ketentuan ini disampaikan melalui pertimbangan hukum putusan perkara uji materi Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan bahwa penyampaian keberatan dari pemilih dapat menjadi dasar evaluasi bagi partai politik terhadap anggotanya. Ia menyebut mekanisme tersebut merupakan bagian dari kontrol publik terhadap kualitas wakil rakyat. “Apabila pemilih menilai terdapat anggota DPR atau DPRD yang tidak layak, pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik,” ujarnya.

Guntur menambahkan bahwa pemilih juga dapat meminta partai untuk mempertimbangkan pemberhentian antarwaktu atau recall terhadap anggota yang dipersoalkan. Menurutnya, mekanisme itu dapat ditempuh sebelum pemilu berikutnya apabila terdapat penilaian serius mengenai integritas atau kinerja anggota dewan.

Ia mengingatkan bahwa pemilu lima tahunan tetap menjadi jalur utama masyarakat untuk memberikan evaluasi terhadap wakil rakyat. Melalui proses tersebut, pemilih dapat menentukan apakah seorang anggota dewan layak dipilih kembali atau tidak. “Pemilih seharusnya tidak memilih kembali anggota DPR atau DPRD yang dianggap bermasalah,” katanya.

Dalam perkara nomor 199/PUU-XXIII/2025, MK menolak permohonan lima mahasiswa yang mengajukan uji materi agar konstituen dapat mengusulkan recall secara langsung. Para pemohon meminta agar hak pemberhentian antarwaktu diberikan kepada pemilih di daerah pemilihan.

BACA JUGA:MK Diminta Hapus Aturan yang Dinilai Buka Peluang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil

Mahkamah menilai permintaan tersebut tidak sejalan dengan dasar konstitusi yang mengatur mekanisme pemilu legislatif. Berdasarkan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan pemilih secara individu.

Karena itu, MK menegaskan bahwa kewenangan recall tetap berada di tangan partai politik sebagai peserta pemilu. Guntur menyebut bahwa mekanisme tersebut merupakan bagian dari sistem demokrasi perwakilan yang telah diatur secara konsisten. “Keinginan para pemohon… pada dasarnya tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan,” tegasnya.

Mahkamah menyampaikan bahwa memberikan kewenangan recall kepada pemilih berpotensi menimbulkan persoalan teknis yang menyerupai pemilu ulang di satu daerah. Kondisi tersebut dapat mengganggu stabilitas politik dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pergantian anggota dewan.

Guntur menjelaskan bahwa tidak ada jaminan pemilih yang dulu memberikan suara masih sama pada saat recall berlangsung. Situasi itu dapat meningkatkan potensi perselisihan dan membuat mekanisme pemberhentian antarwaktu menjadi tidak efektif serta membingungkan bagi penyelenggara pemilu.

MK menilai kekhawatiran para pemohon mengenai dominasi partai politik tidak cukup untuk mengubah mekanisme recall. Menurut Mahkamah, partai tetap wajib mengikuti prosedur, aturan hukum, dan etika, sehingga recall tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang ataupun untuk kepentingan sempit.

BACA JUGA:Hakim MK Arsul Sani Klarifikasi Tuduhan Ijazah Doktor Palsu

Dalam mekanisme tersebut, keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) disebut sebagai elemen penting pengawasan. MKD bertanggung jawab menjaga integritas, martabat, dan etika DPR, termasuk menilai apakah proses pergantian anggota dilakukan sesuai ketentuan.

Mahkamah menegaskan bahwa desain demokrasi perwakilan di Indonesia masih menempatkan partai politik sebagai penghubung utama antara pemilih dan wakil yang duduk di parlemen. Karena itu, mekanisme recall dianggap sesuai dengan struktur politik yang berlaku hingga saat ini.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: