MK Diminta Hapus Aturan yang Dinilai Buka Peluang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil
-ANTARA Foto-
RADARTVNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Permohonan itu menyoroti aturan yang dianggap membuka ruang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil. Perkara tersebut telah teregistrasi dengan nomor 223/PUU-XXIII/2025 dan mulai disidangkan di Jakarta pada Selasa.
Pemohon, advokat Zico Leonardo Simanjuntak, menilai Pasal 19 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang ASN masih memberi celah bagi penempatan polisi aktif dalam jabatan birokrasi. Ia menilai norma tersebut tidak sejalan dengan prinsip pemisahan ranah sipil dan kepolisian. Menurutnya, aturan itu berpotensi mengaburkan batas antara fungsi ASN dan aparat penegak hukum.
Pasal 19 ayat (2) menyebut bahwa jabatan tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri. Pemohon berpendapat ketentuan itu menjadi dasar legal yang tetap memperbolehkan aparat aktif memasuki jabatan sipil. Ia memandang norma tersebut dapat memengaruhi ketertiban administrasi dalam lembaga pemerintahan.
Pasal 19 ayat (3) mengatur bahwa pengisian jabatan itu dilakukan pada instansi pusat sesuai undang-undang mengenai TNI dan Polri. Pemohon menilai aturan itu menguatkan kemungkinan perpindahan personel aktif ke jabatan sipil. Ia menilai adanya potensi benturan kepentingan ketika aparat kepolisian memasuki tugas pemerintahan.
Ketentuan pada ayat (4) memerintahkan penyusunan peraturan pemerintah untuk mengatur jabatan mana saja yang dapat ditempati anggota TNI dan Polri. Menurut pemohon, perintah tersebut dapat memperluas daftar posisi sipil yang bisa diisi aparat aktif. Ia menilai ruang pengaturan itu menimbulkan potensi multitafsir dalam praktik.
BACA JUGA:MK Tegaskan Anggota Polri Harus Lepas Status Aktif Jika Ingin Duduki Jabatan Sipil
Dalam sidang perdana, kuasa hukum pemohon, Ratu Eka Shaira, meminta MK menyatakan frasa “anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” dalam Pasal 19 ayat (2), (3), dan (4) bertentangan dengan UUD 1945. Ia menegaskan langkah itu diperlukan agar tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan polisi aktif menjabat di ruang sipil. Permohonan tersebut disampaikan dalam pemeriksaan pendahuluan.
Pemohon juga menilai norma Undang-Undang ASN tidak menggambarkan semangat Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan tersebut menegaskan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar struktur kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun. Zico menyebut putusan itu telah memberikan batas tegas mengenai larangan rangkap jabatan.
Dalam putusan sebelumnya, MK juga menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri. Penghapusan itu menegaskan bahwa penugasan tidak lagi bisa dijadikan alasan untuk menduduki jabatan sipil. Pemohon menilai penguatan putusan itu penting untuk menjaga batas fungsi kepolisian.
Ratu Eka menyebut keberadaan Pasal 19 ayat (2) dalam Undang-Undang ASN justru memberikan dasar yang secara eksplisit memperbolehkan polisi aktif menduduki jabatan sipil. Menurutnya, keberadaan norma tersebut membuat implementasi putusan MK tidak berjalan optimal. Selama ketentuan itu tetap berlaku, pemohon menilai peluang rangkap jabatan masih muncul.
Dalam perkara ini, pemohon turut menguji Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri yang sebelumnya telah dibatalkan sebagian oleh MK. Setelah pembatalan, penjelasan itu berubah menjadi definisi jabatan di luar kepolisian sebagai posisi yang tidak berkaitan dengan fungsi kepolisian. Namun, pemohon menilai redaksi barunya masih menyisakan persoalan.
BACA JUGA:MK Batasi Penguasaan Tanah di IKN, Tidak Bisa Langsung 190 Tahun
Zico memandang terdapat kontradiksi antara istilah berbasis struktur dan istilah berbasis fungsi dalam penjelasan pasal tersebut. Ia menilai perbedaan itu menimbulkan ketidakseragaman dalam penafsiran. Kondisi tersebut dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya.
Ratu Eka menilai disharmoni antaraturan dapat menimbulkan implikasi konstitusional apabila tidak segera dibenahi. Ia menekankan bahwa konsistensi pengaturan diperlukan untuk menjaga kejelasan peran masing-masing lembaga negara. Pemohon menilai penyelarasan norma menjadi langkah krusial bagi kepastian hukum.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
