BANNER HEADER DISWAY HD

Tikus-Tikus kantor: Sindiran Iwan Fals yang Tak Pernah Kadaluarsa

Tikus-Tikus kantor: Sindiran Iwan Fals yang Tak Pernah Kadaluarsa

Tikus-Tikus Kantor--istimewa

RADARTVNEWS.COM -Iwan Fals tidak pernah sekadar bernyanyi. Lirik-liriknya selalu lahir sebagai cermin getir dari wajah bangsa. Salah satunya adalah lagu “Tikus-Tikus Kantor”, yang hingga hari ini tetap terasa relevan bahkan mungkin lebih nyata daripada saat pertama kali diciptakan. Lagu ini bercerita tentang pejabat dan birokrat yang rakus, licik, dan pandai menyembunyikan dosa di balik jas, meja kerja, hingga lemari baja.

Bayangan itu bukan sekadar metafora. Siapa pun yang mengikuti berita di Indonesia tahu, kasus korupsi tidak pernah benar-benar hilang. Dari kementerian, DPR, hingga pemerintah daerah, selalu saja ada pejabat yang tertangkap mencuri uang rakyat. Mirisnya, rakyat sudah bisa menebak siapa “tikus” dan siapa “kucing” dalam kisah Iwan Fals ini.

Dalam liriknya, Iwan Fals menulis: “Tikus-tikus tak kenal kenyang, rakus, rakus, bukan kepalang.” Gambaran itu begitu nyata jika kita melihat betapa banyak pejabat yang meski sudah kaya raya tetap saja tergoda untuk menilep anggaran. Mereka seperti tak pernah puas, terus mencari celah untuk memperkaya diri, bahkan di atas penderitaan rakyat kecil.

BACA JUGA:Jejak Riza Chalid: Dari ‘Raja Minyak’ hingga Isu Korupsi Migas

Lebih pedas lagi, Iwan menyindir perilaku pejabat yang tak punya malu. “Masa bodoh hilang harga diri, asal tak terbukti tentu sikat lagi.” Kalimat ini terasa seperti potret nyata Indonesia hari ini: pejabat yang sudah terjerat kasus tetap bisa lolos, bahkan kadang kembali menduduki jabatan penting. Rasa malu seolah lenyap, digantikan keberanian untuk mengulang kesalahan karena hukum bisa dipermainkan.

Tak kalah ironis adalah potret aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi “kucing” untuk memburu para tikus. Dalam lagu ini, Iwan menyindir dengan lirik: “Mungkin karena sang kucing pura-pura mendelik.” Sindiran itu terasa tepat ketika melihat banyak kasus besar yang macet di tengah jalan, hilang dari pemberitaan, atau bahkan berujung pada kompromi. Rakyat pun makin skeptis: apakah aparat benar-benar memburu tikus, atau justru ikut bermain dalam lingkarannya?

Kenyataan itu kian pahit ketika melihat angka kerugian negara akibat korupsi yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan malah lenyap ke kantong pribadi. Sementara rakyat di desa masih harus antre bantuan, pejabat yang mestinya jadi pelayan justru pesta pora dengan fasilitas mewah.

“Tikus-Tikus Kantor” sejatinya bukan sekadar lagu, tapi peringatan. Iwan Fals menuliskan keresahan banyak orang bahwa korupsi sudah menjadi kisah usang, berulang-ulang, dan nyaris dianggap biasa. Lagu ini mengajarkan kita satu hal penting: selama pejabat tak punya rasa malu dan aparat masih bisa dibeli, tikus-tikus itu akan terus hidup nyaman di kantor mereka.

Hari ini, ketika indeks persepsi korupsi Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara lain, lagu ini kembali menggema seperti sindiran keras. Negeri ini memang tak kekurangan pejabat pintar, tapi entah mengapa lebih banyak yang memilih jadi licik.

Iwan Fals seolah ingin bilang: tikus dan kucing hanyalah simbol. Yang kita hadapi sebenarnya adalah sistem yang permisif, aparat yang longgar, dan pejabat yang tak pernah kenyang. Maka, selama tikus masih rakus dan kucing tetap malas, rakyatlah yang akan terus jadi korban. Dan selagi itu terjadi, lagu ini akan terus relevan, menjadi jeritan satire bahwa negeri ini belum benar-benar berubah.

BACA JUGA:Mahasiswa Temui DPR, Tuntut Investigasi Dugaan Makar dan Soroti Kenaikan Tunjangan

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait