BANNER HEADER DISWAY HD

Titi Anggraini Sebut “Nonaktif” Anggota DPR Hanya Kebijakan Partai, Status Resmi Tetap Aktif

Titi Anggraini Sebut “Nonaktif” Anggota DPR Hanya Kebijakan Partai, Status Resmi Tetap Aktif

-tokohinspiratif.id-

RADARTVNEWS.COM – Beberapa partai politik baru-baru ini menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR setelah demo ricuh. Namun, istilah “nonaktif” sebenarnya tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Menurut Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, langkah partai bersifat internal dan tidak mengubah status resmi anggota DPR.

BACA JUGA:Presiden Prabowo Gelar Silaturahmi dengan Tokoh Lintas Agama, Pimpinan Parpol, dan Serikat Buruh di Istana Neg

Penonaktifan dalam UU MD3 hanya berlaku bagi pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang dalam proses pengaduan. “Pasal 144 UU MD3 menyebutkan pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan atau anggota MKD yang sedang diadukan dan pengaduannya memenuhi syarat. Jadi, konteks nonaktif hanya berlaku untuk MKD, bukan anggota DPR umum,” jelasnya, Senin (1/9).

Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR juga menegaskan hal serupa. Status anggota DPR biasa hanya dapat berubah melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) sesuai Pasal 239 UU MD3. Proses PAW dimulai dari usulan resmi partai politik kepada pimpinan DPR, kemudian diteruskan kepada Presiden. Presiden mengeluarkan keputusan pemberhentian dan menetapkan pengganti, yaitu calon legislatif dengan suara terbanyak berikutnya dari daerah pemilihan yang sama. Artinya, ketika partai menyatakan menonaktifkan kadernya, keputusan itu bersifat internal. Secara hukum, anggota DPR tetap aktif sampai ada proses PAW, sehingga hak dan kewajiban mereka sebagai legislator tidak berubah.

PAW hanya bisa dilakukan jika anggota DPR meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Pemberhentian hanya bisa dilakukan apabila anggota DPR tidak mampu melaksanakan tugas selama tiga bulan, melanggar sumpah atau kode etik DPR, dijatuhi pidana penjara lima tahun atau lebih, diusulkan partai, tidak lagi memenuhi syarat calon DPR, atau diberhentikan dari partai. Anggota yang di-PAW digantikan oleh calon legislatif peraih suara terbanyak berikutnya. Mekanisme ini menjaga kontinuitas perwakilan politik tanpa menambah kursi baru di luar perolehan suara partai.

Titi menegaskan istilah “nonaktif” hanya berdampak internal pada relasi kader dengan partai atau fraksi, bukan pada status resmi sebagai anggota DPR. “Penggunaan istilah ini bisa membingungkan publik. Partai harus menjelaskan konsekuensi dari penonaktifan terhadap hak dan status anggota DPR,” ujarnya. Ia menambahkan, demi kredibilitas dan etika, anggota DPR yang dinonaktifkan sebaiknya mempertimbangkan pengunduran diri sukarela. Langkah ini memberi kepastian hukum sekaligus menunjukkan tanggung jawab kepada publik.

BACA JUGA:Direktur Lokataru Dijemput Paksa Polisi, Lokataru Foundation Tuntut Keadilan

Setelah demo ricuh, lima anggota DPR dinonaktifkan oleh partai, yaitu Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari NasDem, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dan Surya Utama atau Uya Kuya dari PAN, serta Adies Kadir dari Golkar. Meskipun dinyatakan nonaktif oleh partai, secara hukum mereka tetap aktif hingga proses PAW dijalankan. Dengan demikian, keputusan partai tidak otomatis mengubah status resmi atau hak anggota DPR sebagai legislator.

Kejadian ini menegaskan pentingnya publik memahami perbedaan antara kebijakan internal partai dan mekanisme hukum resmi. Dengan pemahaman yang tepat, masyarakat dapat menilai langkah partai dan anggota DPR secara akurat, mengurangi kebingungan, dan menjaga kepercayaan terhadap institusi parlemen. Sikap etis anggota DPR dalam merespons keputusan partai juga menjadi sorotan penting untuk membangun akuntabilitas dan kredibilitas lembaga legislatif di mata publik.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait