BANNER HEADER DISWAY HD

RI Longgarkan Impor Produk AS: Peluang atau Ancaman untuk Industri Dalam Negeri?

RI Longgarkan Impor Produk AS: Peluang atau Ancaman untuk Industri Dalam Negeri?

--Freepik

BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - Indonesia dan Amerika Serikat telah menyepakati kerangka kerja sama perdagangan bilateral yang mencakup liberalisasi tarif impor, pengakuan standar keselamatan produk, serta regulasi transfer data lintas negara. Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia menyetujui penghapusan tarif impor terhadap 99% produk AS, meliputi 11.474 dari total 11.552 kode HS, yang mencakup sektor industri, otomotif, elektronik, pangan, farmasi, dan bahan kimia. 

Meski terdapat beberapa pengecualian seperti produk daging babi dan minuman beralkohol, langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk membuka pasar secara signifikan bagi produk AS. Sebagai imbal balik, Amerika Serikat akan menurunkan tarif bea masuk terhadap produk Indonesia dari rata-rata 32% menjadi 19%, kecuali produk yang mengandung komponen non-pasar seperti dari Tiongkok yang akan tetap dikenakan tarif tinggi hingga 40%.

 

Dalam kerangka perjanjian ini, Indonesia juga sepakat untuk menghapus berbagai hambatan non-tarif (non-tariff barriers/NTB), seperti kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), inspeksi pra-pengiriman, pembatasan barang bekas, hingga keharusan sertifikasi dan pelabelan khusus. Kini, produk AS yang telah disertifikasi FDA, kendaraan dengan standar AS, serta alat kesehatan tertentu dapat langsung masuk ke pasar Indonesia tanpa proses tambahan. 

BACA JUGA:Presiden Prabowo dan PM Thailand Sepakat Tingkatkan Perdagangan Bilateral Hingga Lebih dari 18 Miliar Dolar AS

Kesepakatan ini juga mencakup pembelian strategis dari pihak Indonesia terhadap produk AS, termasuk energi senilai USD 15 miliar, produk pertanian sebesar USD 4,5 miliar, dan pesawat Boeing sebagai bagian dari paket kerja sama yang bersifat timbal balik. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa langkah ini diambil untuk meredam ancaman tarif AS yang sebelumnya akan diterapkan hingga 32%, sekaligus menjawab tekanan dari defisit perdagangan bilateral yang mencapai USD 18 miliar.

 

Namun, sejumlah ekonom menyuarakan kekhawatiran. Dikutip dari Tempo.co (23 Juli 2025), hasil analisis menurut Bhima Yudhistira  dari Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Guru Besar Ekonomi Unand, Syafruddin Karimi, kesepakatan ini berisiko melemahkan industri lokal. Produk impor AS yang lebih unggul secara teknologi dan branding bisa menekan daya saing UMKM, sementara penghapusan tarif berpotensi menggerus penerimaan negara dari bea masuk.

 

Peringatan juga disampaikan oleh Global Trade & Regional Integration (GTRI), yang menilai kesepakatan ini bisa mendorong Indonesia jadi pasar pasif seperti pengalaman India-AS. Meski dipuji media global seperti Wall Street Journal dan Financial Times sebagai negara ASEAN yang diuntungkan, posisi Indonesia tetap rapuh dibanding poros besar seperti Uni Eropa atau Tiongkok.

BACA JUGA:Ketegangan antara Donald Trump dan Walmart Terkait Tarif Impor, Siapa Dirugikan ?

Untuk mencegah penurunan sektor industri, pemerintah perlu langkah strategis antara lain, menyiapkan tarif safeguard saat impor melonjak, tegakkan rules of origin untuk cegah transshipment, dan perkuat sistem kepabeanan digital berbasis risk-based assessment demi pengawasan mutu dan kepatuhan pajak.

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait