BANNER HEADER DISWAY HD

"Peradaban .Feast: Lagu Perlawanan di Tengah Ironi Demokrasi"

--ISTIMEWA

RADARTVNEWS.COM - “Peradaban takkan pernah mati, walau diledakkan diancam tuk diobati.” Potongan lirik dari lagu “Peradaban” milik .Feast belakangan kembali bergema di tengah masyarakat. Lebih dari sekadar karya musik, lagu ini menyimpan pesan mendalam tentang keteguhan rakyat melawan ketidakadilan. Lirik yang lugas dan penuh energi membuat lagu ini terasa relevan dengan realitas sosial politik Indonesia hari ini.

“Peradaban” berbicara tentang semangat bertahan meski terus diinjak. Lirik “Nama kita diinjak lagi, bagai keset selamat datang” menjadi cerminan perlakuan yang sering dialami rakyat kecil, diabaikan, ditindas, namun tetap berusaha berdiri tegak. .Feast seolah menegaskan bahwa kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh pembangunan fisik, melainkan oleh kesadaran kolektif untuk melawan penindasan dan ketidakadilan yang berulang kali hadir.

Makna lagu ini terasa seperti manifesto perlawanan. Ia mengingatkan pendengarnya untuk tidak menyerah, meski realitas begitu pahit. Di saat banyak suara rakyat dibungkam, “Peradaban” hadir sebagai ruang di mana kegelisahan sosial menemukan bentuknya. Lagu ini mengajarkan bahwa peradaban sejati hidup dalam budaya, nilai, dan keberanian rakyat untuk melawan. Tak heran jika banyak anak muda menjadikan lagu ini sebagai simbol semangat perlawanan, karena liriknya seakan mewakili suara generasi yang lelah dengan keadaan, tetapi tetap berpegang pada harapan.

BACA JUGA:Jerome Polin Ungkap Ditawari Jadi Buzzer, Pilih Bongkar Praktiknya ke Publik

.Feast memang dikenal sebagai grup musik yang berani bersuara lantang soal isu sosial. Banyak karyanya sarat kritik terhadap kondisi politik, lingkungan, hingga keresahan generasi muda. “Peradaban” menjadi salah satu karya yang paling menonjol karena mampu merangkum rasa marah sekaligus tekad untuk bertahan. Ketika musik lain sibuk berbicara soal cinta, lagu ini mengajak pendengarnya untuk berpikir tentang bangsa dan nasib rakyatnya.

Pesan dalam lagu itu semakin terasa relevan ketika disandingkan dengan situasi Indonesia saat ini. Gelombang demonstrasi menuntut transparansi tunjangan DPR mencuat justru di bulan kemerdekaan, momen yang seharusnya jadi simbol kebangkitan, bukan kemunduran. Tuntutan rakyat sederhana: kejelasan soal dana yang dikelola wakil mereka. Namun, ketidakjelasan dan besarnya tunjangan DPR justru semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan pemimpin.

Ironisnya, rakyat yang bersuara malah kembali berhadapan dengan aparat. Bentrokan pun tak terhindarkan, bahkan memakan korban. Situasi ini menambah daftar panjang persoalan demokrasi kita. Pertanyaan besar pun muncul: apakah suara rakyat benar-benar didengar, atau justru dibungkam dengan cara yang sama seperti sebelumnya?

Di bulan yang mestinya dirayakan dengan kemajuan, justru rakyat kembali ditindas oleh kepentingan segelintir elite. Lagu “Peradaban” pun seakan mengingatkan: kemerdekaan sejati bukan sekadar simbol perayaan, melainkan keberanian untuk memperjuangkan keadilan. Lirik “suatu saat nanti tanah air kembali berdiri, suatu saat nanti kita memimpin diri sendiri” menjadi harapan bahwa bangsa ini masih bisa bangkit jika rakyat bersatu.

“Peradaban” adalah suara rakyat yang tak mau dibungkam. Ia mengajak kita untuk tetap teguh, meski jalan terasa berat. Ironi yang terjadi di bulan kemerdekaan, ketika rakyat masih harus turun ke jalan menuntut hak mereka, seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Peradaban Indonesia hanya bisa bertahan bila demokrasi benar-benar dijalankan dan keadilan ditegakkan. Selama rakyat masih berani bersuara, peradaban itu takkan pernah mati.

BACA JUGA:Ribuan Ojol Iringi Pemakaman Affan Kurniawan di TPU Karet Bivak

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: