Ahli BMKG dan WALHI: Bencana Beruntun Sumatera Dipicu "Lingkaran Setan" Iklim dan Kerusakan Lahan
Banjir--Istimewa
RADARTVNEWS.COM - Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi secara beruntun di tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh bukan hanya dipicu oleh fenomena alam ekstrem, melainkan diperparah oleh kerusakan parah pada lingkungan dan alih fungsi lahan. Hal ini terungkap dalam diskusi yang melibatkan mantan Kepala BMKG, Dwi Korita Karnawati, dan Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, Rianda Purba.
Para ahli sepakat bahwa rentetan bencana hidrometeorologi ini adalah konsekuensi dari apa yang disebut sebagai “lingkaran setan” antara perubahan iklim global dan kegagalan tata kelola ruang di wilayah Sumatera.
Siklon Senyar Jadi Pemicu, Bukit Barisan Sudah Rentan
Mantan Kepala BMKG, Dwi Korita Karnawati, menjelaskan bahwa pemicu langsung dari intensitas hujan ekstrem adalah perkembangan Siklon Tropis Senyar. Menurutnya, fenomena siklon yang memicu cuaca ekstrem semakin sering terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, akibat dari pemanasan global.
"Hujan ekstrem yang diakibatkan siklon ini adalah sebagai pemicu," tegas Dwi Korita, yang juga merupakan Guru Besar Mitigasi Bencana UGM. Ia menambahkan bahwa secara alamiah, wilayah Sumatera yang dilewati jalur patahan aktif dan Bukit Barisan memang sudah memiliki kerawanan geologis yang tinggi.
"Pegunungan itu adalah pegunungan yang rentan, memang berbakat untuk mengalami longsor. Tinggal menunggu pemicunya, dan hujan lebat ekstrem adalah pemicu tersebut," jelasnya.
BACA JUGA:Banjir Besar Rendam Kabupaten Padang Pariaman, Lebih dari 9.000 Jiwa Terdampak Hujan Deras
BACA JUGA:Banjir Longsor Landa Tapanuli Tengah, Empat Warga Meninggal dan Ribuan Rumah Terendam
WALHI: 2.000 Hektar Hutan Rusak Akibat Industri Ekstraktif
Sementara itu, dari perspektif ekologi, WALHI Sumatera Utara menyoroti kondisi lahan yang semakin memperburuk dampak pemicu alam. Rianda Purba, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, menyebut bahwa dalam sembilan tahun terakhir, sekitar 2.000 hektar hutan di wilayah hulu Tapanuli Tengah dan Selatan telah rusak dan ditebang.
Kerusakan ini tidak terjadi tanpa sebab. Rianda mengaitkannya dengan aktivitas industri ekstraktif dan pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga lingkungan.
“Semakin diperparah saat adanya cuaca ekstrem karena perubahan tutupan lahan dan hutan di wilayah daerah aliran sungai dan perbukitan sepanjang Bukit Barisan,” ujar Rianda.
Ia mencontohkan, adanya pembangunan infrastruktur seperti PLTA Batang Toru, pertambangan emas, dan perkebunan kayu yang berkontribusi terhadap minimnya area resapan air. Indikasi keterlibatan industri ini terlihat dari gelondongan kayu berukuran besar yang ikut terseret saat banjir bandang.
BACA JUGA:Banjir Kepung Kota Medan, Warga Terpaksa Naik ke Lantai Dua Saat Air Meninggi
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
