Bukan Cuma Candaan: Kasus Sister Hong dan Realita Pelecehan terhadap Pria
--Freepik
BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - Kasus viral "Sister Hong" memicu perdebatan di media sosial. Video dugaan pelecehan terhadap seorang pria menuai beragam respons dari candaan hingga kecaman. Sayangnya, pelecehan terhadap laki-laki masih sering dianggap remeh, padahal ini tetap bentuk kekerasan seksual yang serius, siapapun korbannya.
Sister Hong bukan hanya sekadar sosok viral. Ia menjadi simbol dari bagaimana masyarakat kita memperlakukan kasus pelecehan seksual dengan standar ganda. Saat pelaku adalah perempuan dan korban adalah laki-laki, narasi yang muncul seringkali berbeda. Bukannya mendapatkan simpati, korban justru ditertawakan atau dianggap "beruntung". Ini mencerminkan betapa dalamnya bias gender yang bercokol di masyarakat bahwa laki-laki selalu diasumsikan kuat, dominan, dan tidak mungkin menjadi korban.
Meski sering dipandang tabu atau dianggap mustahil, faktanya laki-laki juga rentan menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Studi Barometer Kesetaraan Gender (IJRS) dan INFID pada tahun 2020 menunjukkan, 33% laki-laki mengalami kekerasan seksual, terutama dalam bentuk pelecehan. Data KPAI (2018) menunjukkan 60% korban kekerasan seksual anak adalah laki-laki, lebih tinggi dari perempuan (40%). Sementara menurut SIMFONI PPA (Kemen PPPA), dari 1.643 korban laki-laki, 70,8% adalah pelajar, dengan mayoritas berusia 13–17 tahun.
Laporan kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki cenderung rendah bukan karena kasus tidak ada, tetapi karena korban laki-laki sering enggan melapor akibat stigma sosial dan ekspektasi maskulinitas yang kuat. Inilah mengapa kasus seperti Sister Hong harus menjadi bahan refleksi bersama. Vitalitasnya jangan hanya dijadikan hiburan atau meme, tetapi momentum untuk membuka diskusi publik yang lebih jujur dan adil soal perlindungan korban laki-laki.
Penanganan hukum terhadap pelecehan seksual oleh pelaku perempuan masih lemah karena KUHP belum bersifat gender netral. Meski UU TPKS sudah disahkan sejak 2022, implementasinya lambat akibat minimnya aturan pelaksana, rendahnya pemahaman aparat, dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Akibatnya, banyak korban, termasuk laki-laki, belum mendapat perlindungan optimal.
Hal yang terjadi di ruang publik dan dalam konteks yang direkam serta dibagikan secara luas seperti kasus Sister Hong, menimbulkan diskusi tentang batasan tindakan seksual, persetujuan (consent), dan etika penyebaran konten. Penyebaran video tersebut di berbagai platform menunjukkan bagaimana konten berunsur seksual masih kerap dijadikan hiburan, tanpa mempertimbangkan dampak sosial atau hukum yang menyertainya.
BACA JUGA:Guru SD di Bandar Lampung Diduga Cabuli Murid, Penahanan Ditangguhkan Setelah Diberi Jaminan 50 Juta
Pelecehan seksual adalah bentuk kekerasan, bukan komedi. Saatnya kita ubah cara pandang. Tidak ada kekerasan yang layak ditertawakan. Perlindungan dan keadilan harus berlaku tanpa pandang gender karena trauma tidak mengenal jenis kelamin.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
