Hukum Memberi, Menjadi Perantara dan Menerima Uang Dari Capres, Caleg, Parpol : Fix Tempatnya di Neraka

Hukum Memberi, Menjadi Perantara dan Menerima Uang Dari Capres, Caleg, Parpol : Fix Tempatnya di Neraka

MASUK NERAKA : Baik pemberi, perantara, dan penerima risywah, suap dan sogokan dari capres, caleg dan parpol.-tangkap layar-

RADARTV – Pemilihan umum pada Rabu 14 Februari 2024 sudah di depan mata dan hidung. Hanya menyisakan lima hari lagi. Dapat dipastikan akan ada wajah baru pemimpin Bangsa Indonesia untuk lima tahun ke depan. 

Di waktu bersamaan, selain menentukan calon presiden dan calon wakil presiden. Bangsa Indonesia akan menentukan siapa wakil rakyat Indonesia. Mulai dari level DPRD kabupaten / kota, DPRD Provinsi, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Nah, setiap warga negara Indonesia (WNI) yang ada di dalam atau luar negeri dengan kriteria khusus seperti sudah berusia 17 tahun dapat memberikan hak suaranya. 

Menjelang hari H kontestasi, baik parpol, koalisi parpol, relawan, tim pemenangan, dan caleg  biasanya berlomba – lomba untuk menjaga basis suara dan tentunya memperbanyak perolehan suara. Targetnya cuma satu, meraih  suara tertinggi dan tentunya menjadi tiket untuk menduduki kursi kekuasaan (konon) wakil rakyat nan empuk. 

Dalam situasi tertentu untuk meraih kemenangan, suara terbanyak. Terkadang parpol, caleg dan tim sukses menggunakan segala cara. Halal, haram, hantam (3H). Jika sudah begini, ragam “amunisi” sudah disiapkan. Dimulai dari pemetaan basis massa setara basis suara. 

Caleg dan parpol melalui tim sukses  (TS) sebagai ujung jangkar memiliki data by name by addres. Mereka inilah yang terus menerus dipelihara. Sifat dan karakter basis massa atau pemilih tradisional di pedesaan lebih mudah dijaga dibanding dengan basiswa massa di wilayah urban atau rural. 

Salah satu bentuk pemeliharaan itu, biasanya yang dilakukan rezim penguasa adalah dengan menggelontorkan banyak program bantuan sosial (bansos). Semua program diada – adakan, meski harus memangkas anggaran lembaga lain. 

Mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), sembako (beras dll), yang sebelumnya tak pernah ada. Termasuk “suap” dengan memberi kebijakan kenaikan gaji bagi ASN, TNI, Poliri, pensiunan dan tenaga honorer. 

Ada lagi program iming – iming yakni dibukanya keran penerimaan CPNS dan pengangkatan tenaga honorer. Wajah bopeng pemerintah dibedaki sedemikain rupa agar terlihat baik. Tujuannya cuma satu mendukung petahana atau mendukung calon yang didukung petahana. 

Serupa dilakukan oleh kepala daerah. Biasanya kepala daerah yang berafliasi atau berkoalisi dengan parpol pengusung capres ini dengan rupa segala macam kebijakan mencoba untuk memenangkan jagoannya.

Mirip dengan pemerintah pusat, sang kepala daerah ini seperi sedang memainkan lakon komedi. Latah sok dermawan dengan bagi sana – sini sembako atau bantuan program lain.

Nah untuk caleg, biasanya main secar gerilya. Mereka sudah punya simpul – simpul pemenangan yang loyal dan terus “dipelihara”. Tujuanya simpel menggalang suara untuk sang caleg. 

Untuk itu, sudah menjadi rahasis umum maka berlakulah hukum rimba ”uang suap yang paling besar akan mengalahkan uang suap yang paling kecil”. Bahkan dalam periodisasi pemilu sudah dikenal atau menjadi bench mark harga satu suara. 

Semisal harga satu suara di kabupaten / kota disuap senilai Rp250 ribu, plus uang operasional 10 persen untuk sang TS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: