Indonesia Peringkat 1 Sawit Dunia, Sumatera Jadi Pusat Produksi Utama
Kebun Sawit--Istimewa
RADARTVNEWS.COM - Indonesia mengukuhkan posisinya sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, melampaui produsen global lainnya, termasuk Malaysia. Pencapaian ini menempatkan Indonesia sebagai pemain dominan dalam pasar minyak nabati global. Namun, di balik rekor produksi tersebut, terdapat isu serius mengenai praktik perkebunan yang disinyalir menjadi faktor pemicu bencana hidrometeorologi yang kini melanda Sumatera.
Mayoritas dari perkebunan sawit raksasa di Indonesia terkonsentrasi di pulau Sumatera dan Kalimantan. Khususnya Sumatera, pulau ini berfungsi sebagai pusat utama produksi sawit nasional, dengan luasan lahan yang dikonversi menjadi perkebunan mencapai jutaan hektare.
Data terbaru dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia terus mengalami peningkatan, didorong oleh permintaan global yang tinggi. Industri sawit telah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar non-migas negara, menyediakan jutaan lapangan kerja dan menjadi penopang ekonomi di banyak daerah.
Namun, ekspansi kebun sawit sering kali dilakukan melalui konversi lahan hutan alam yang masif dan tidak berkelanjutan. Praktik ini secara langsung menyebabkan deforestasi besar-besaran, menghilangkan hutan sebagai penyerap air alami, dan merusak ekosistem gambut.
Saat ini, fokus kritik tajam diarahkan pada hubungan antara luasnya perkebunan sawit di Sumatera dan meningkatnya frekuensi serta tingkat keparahan bencana banjir bandang dan tanah longsor di provinsi-provinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
BACA JUGA:Produksi Minyak Sawit RI Diperkirakan Tumbuh Mendekati 10 Persen hingga Akhir 2025
BACA JUGA:Bencana di Sumatra Disebut “Manmade”, Prabowo Gerakkan Satgas Hutan dan Sawit
Pakar lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan sejumlah akademisi menilai bahwa alih fungsi hutan menjadi monokultur sawit telah menyebabkan hilangnya daya dukung lingkungan di kawasan hulu. Hutan tropis yang seharusnya berfungsi sebagai spons penampung air telah digantikan oleh tanaman sawit yang memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih rendah.
Akibatnya, ketika intensitas curah hujan tinggi sebagaimana yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, air tidak tertahan di hulu dan langsung meluncur ke dataran rendah. Fenomena inilah yang diduga memperburuk banjir bandang, seperti yang baru-baru ini terjadi di beberapa kabupaten di Sumatera, merenggut banyak korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengakui adanya indikasi bahwa aktivitas korporasi, termasuk perkebunan, berkontribusi pada bencana. Hal ini terbukti dari langkah tegas pemerintah mencabut izin sejumlah perusahaan yang diduga melanggar aturan lingkungan di kawasan terdampak.
Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai bergerak dari sekadar mengawasi produksi ke arah penegakan hukum lingkungan yang lebih ketat. Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada pencabutan izin, tetapi juga mendorong restorasi ekosistem yang rusak dan penanaman kembali vegetasi alami di kawasan hulu yang kritis.
Meskipun Indonesia bangga dengan statusnya sebagai produsen sawit terbesar, tantangan utama kini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi global yang masif dengan kewajiban menjaga keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat di Sumatera.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
