ASEAN di Usia 58 Tahun Didesak Lebih Responsif terhadap Isu HAM dan Kemanusiaan
--Freepik
BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - ASEAN hari ini genap berusia 58 tahun sejak didirikan pada 8 Agustus 1967. Organisasi regional ini selama puluhan tahun dianggap berhasil menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara. Namun, di usia yang sudah matang, ASEAN belum cukup tanggap terhadap persoalan mendesak, terutama dalam isu hak asasi manusia (HAM), krisis kemanusiaan, dan konflik lintas negara.

Salah satu krisis besar ASEAN adalah konflik berkepanjangan di Myanmar. Sejak kudeta militer pada 2021, lebih dari 6.000 warga sipil tewas dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal. Laporan terbaru dari UN Human Rights Office pada tahun 2024 menyebutkan bahwa lebih dari 22 juta warga Myanmar kini membutuhkan bantuan, sementara lebih dari 3,5 juta mengungsi. Konsensus Lima Poin yang dirumuskan ASEAN pun tak menunjukkan hasil konkret. Selain itu, Human Rights Watch menyebut pendekatan ASEAN terlalu lunak, bahkan nyaris simbolis belaka.
Namun, Myanmar bukan satu-satunya kasus. Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang kembali memanas beberapa bulan terakhir juga menunjukkan lemahnya mekanisme resolusi konflik di dalam ASEAN. Perselisihan lama mengenai wilayah sekitar Kuil Preah Vihear, yang sempat menelan korban pada dekade lalu, kembali mencuat pada awal 2025. Bentrokan kecil di sepanjang perbatasan telah memaksa warga sipil mengungsi, dengan beberapa laporan menyebutkan penembakan artileri ringan dan ranjau darat masih menjadi ancaman.
Meski belum berkembang menjadi perang terbuka, ketegangan ini berisiko meningkat tanpa mediasi efektif. ASEAN, lagi-lagi, hanya memberikan pernyataan normatif, tanpa langkah diplomatik yang progresif.
BACA JUGA:Hutang RI Menanjak, ASEAN Ingatkan Potensi Krisis Sosial - Ekonomi
Lebih jauh, masalah perdagangan manusia juga menjadi luka terbuka di kawasan. Indonesia, sebagai negara pengirim utama, menyumbang ribuan korban perdagangan manusia setiap tahun, khususnya perempuan dan anak-anak yang dijebak dengan janji pekerjaan di Malaysia, Thailand, dan bahkan ke Timur Tengah melalui jalur transit Asia Tenggara. Laporan dari International Organization for Migration (IOM) dan Komnas Perempuan mencatat 2020 - 2024 bahwa banyak korban mengalami eksploitasi seksual dan kerja paksa. Ironisnya, banyak kasus ini melibatkan jaringan lintas negara yang sulit diatasi karena lemahnya koordinasi antarnegara ASEAN.
ASEAN sebenarnya memiliki ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) yang disepakati sejak 2015, namun implementasinya masih lemah. Tidak semua negara anggota memiliki sistem perlindungan korban yang memadai, dan data korban sering kali tidak sinkron. Upaya pencegahan dan penindakan pun terhambat oleh birokrasi dan kurangnya kemauan politik untuk menindak jaringan besar yang terlibat.
Semua ini menunjukkan masalah mendasar, seperti ASEAN terlalu terikat pada prinsip non - intervensi yang usang. Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan konflik perbatasan, prinsip ini berubah menjadi pembenaran untuk tidak berbuat apa-apa. ASEAN tidak punya mekanisme penegakan atau sanksi yang mengikat. Bahkan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) belum punya wewenang untuk melakukan investigasi secara independen.
BACA JUGA:DPR: Konflik Thailand-Kamboja Berpotensi Guncang Stabilitas Kawasan ASEAN
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
