Desakan Amerika Serikat Tutup QRIS, Indonesia Tegaskan Kemandirian Sistem Pembayaran
--
RADARTVNEWS.COM – Pada akhir April 2025, hubungan dagang Indonesia dan Amerika Serikat memanas setelah pemerintah AS secara terbuka mendesak Indonesia untuk menutup atau setidaknya merevisi sistem pembayaran digital nasional, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Desakan ini memicu kontroversi luas di dalam negeri dan menjadi sorotan dunia internasional, mengingat QRIS telah menjadi tulang punggung transaksi digital yang inklusif dan efisien di Indonesia.
QRIS adalah standar nasional pembayaran berbasis QR code yang dikembangkan Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Sistem ini memungkinkan semua aplikasi pembayaran digital di Indonesia menggunakan satu kode QR yang sama, sehingga transaksi menjadi lebih mudah, murah, dan efisien.
QRIS juga dinilai sangat membantu pelaku UMKM, mempercepat inklusi keuangan, dan memperkuat kedaulatan sistem pembayaran nasional.
Namun, Amerika Serikat menilai kehadiran QRIS dan sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai hambatan non-tarif yang mengancam kepentingan perusahaan-perusahaan pembayaran raksasa asal AS, seperti Visa dan Mastercard.
Dalam laporan tahunan United States Trade Representative (USTR) bertajuk National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, AS menyebut kebijakan Indonesia yang mewajibkan transaksi domestik diproses melalui jaringan lokal sebagai bentuk proteksionisme digital yang membatasi ruang gerak perusahaan asing.
Mereka juga menyoroti kurangnya pelibatan pemangku kepentingan internasional dalam perumusan kebijakan QRIS, meski faktanya Visa, Mastercard, dan Europay merupakan anggota ASPI yang terlibat dalam pengembangan sistem ini.
Di sisi lain, Bank Indonesia dan pemerintah RI menegaskan bahwa QRIS dan GPN bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan strategi untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional dan melindungi data transaksi masyarakat Indonesia.
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menegaskan bahwa penggunaan Visa dan Mastercard masih sangat dominan di Indonesia, dan tidak ada diskriminasi terhadap perusahaan asing selama mereka mengikuti regulasi nasional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia telah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia untuk memastikan sistem pembayaran domestik tetap berjalan sesuai kepentingan nasional.Kritik AS juga dinilai sebagai bagian dari persaingan bisnis global.
Ketua Umum ASPI, Santoso Liem, dan Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta, menilai sorotan pemerintah AS terhadap QRIS dan GPN lebih merupakan bentuk kekhawatiran atas persaingan bisnis, bukan murni soal keamanan atau keterbukaan pasar.
QRIS yang semakin masif digunakan di Indonesia bahkan telah mulai membuka kerja sama pembayaran lintas negara, memperkuat posisi Indonesia di kancah ekonomi digital global.
Jika QRIS benar-benar ditutup atau dibatasi, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian digital Indonesia. UMKM dan masyarakat yang selama ini terbantu dengan kemudahan transaksi digital akan kehilangan akses, dan Indonesia akan kembali bergantung pada sistem pembayaran internasional yang dikendalikan negara-negara besar.
Selain itu, langkah ini berpotensi menghambat transformasi digital nasional yang menjadi prioritas pemerintah.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
