Jaringan Teror Sasar Anak Lewat Platform Digital, Densus 88 Amankan Lima Perekrut
-ANTARA Foto-
RADARTVNEWS.COM – Densus 88 Antiteror Polri mengungkap pola baru perekrutan anak melalui ruang digital yang dijalankan kelompok teror yang terhubung dengan jaringan ISIS dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Temuan ini menunjukkan bahwa platform media sosial hingga game online telah dimanfaatkan untuk menjangkau kelompok usia muda. Penangkapan lima tersangka dilakukan setelah rangkaian penyidikan sejak akhir 2024 menghasilkan bukti yang kuat.
Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan bahwa tersangka FW, LM, PP, MSPO, dan JJS terlibat langsung dalam aktivitas perekrutan melalui platform daring. Salah satu dari mereka tercatat pernah menjalani proses hukum atas kasus serupa dan kembali beraksi setelah bebas. Penindakan terbaru berlangsung pada 17 November 2025 di Sumatera Barat dan Jawa Tengah, melanjutkan operasi yang dilakukan dalam beberapa tahap.
Dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (18/11), Mayndra menyampaikan, “Dalam setahun ini ada lima tersangka (dewasa) yang sudah diamankan oleh Densus 88.” Ia menyebut bahwa tiga kali pengungkapan dilakukan sejak akhir 2024 dan mengarah pada identifikasi lebih dari seratus anak yang terpapar propaganda kelompok teror. Seluruh proses berlangsung melalui ruang digital tanpa tatap muka.
Data resmi Densus 88 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah anak yang teridentifikasi. Mayndra menyampaikan, “Pada tahun ini, di tahun 2025 sendiri, seperti kurang lebih lebih dari 110 (anak dan pelajar yang saat ini sedang teridentifikasi).” Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan catatan 2011–2017 yang hanya mencatat 17 anak. Situasi ini menunjukkan bahwa propaganda digital semakin agresif dan sulit diawasi.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan bahwa kelima tersangka berperan sebagai perekrut dan pengatur komunikasi. Ia menyatakan, “Atas peranannya merekrut dan memengaruhi anak-anak tersebut supaya menjadi radikal, bergabung dengan kelompok terorisme dan melakukan aksi teror.” Peran tersebut memungkinkan mereka mengarahkan target ke ruang komunikasi yang lebih tertutup.
Identitas tersangka dipaparkan secara terbuka: FW alias YT (47), LM (23), PP alias BMS (37), MSPO (18), dan JJS alias BS (19). Mereka menjalankan proses penjaringan awal, membangun kedekatan, lalu mengarahkan target menuju grup privat. Seluruh interaksi berlangsung melalui perangkat digital sehingga tidak mudah dikenali oleh orang sekitar anak.
BACA JUGA:Bahlil Pastikan Impor Minyak dari AS Siap Dimulai Desember 2025
Tahap awal perekrutan dilakukan dengan menyebarkan konten propaganda di platform terbuka, seperti video, meme, serta lagu. Mayndra menjelaskan, “Jadi, tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik.” Konten tersebut dirancang untuk memberi kesan positif bagi anak yang sedang mencari jati diri.
Game online menjadi salah satu medium yang banyak dimanfaatkan karena memberi ruang interaksi yang bebas dan anonim. Mayndra menuturkan, “Ketika di sana terbentuk sebuah komunikasi, lalu mereka dimasukkan kembali ke dalam grup yang lebih khusus, yang lebih terenkripsi.” Dari ruang tersebut, target diarahkan menuju komunitas yang lebih kecil dan tertutup.
Setelah terpilah, anak-anak dimasukkan ke grup privat di WhatsApp atau Telegram yang menjadi lokasi utama proses pengaruh ideologi. Mayndra menyatakan, “Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung.” Pelaku membangun kepercayaan terlebih dahulu sebelum memperkenalkan narasi ekstrem yang disesuaikan dengan kerentanan psikologis target.
Upaya pendampingan terhadap anak dilakukan bersama Kementerian PPPA, KPAI, Kemensos, serta sejumlah pihak lain. Langkah tersebut mencakup asesmen psikologis, stabilisasi emosi, dan pembinaan agar anak dapat keluar dari paparan ideologi. Penanganan berkelanjutan dilakukan untuk memulihkan kondisi mereka dari dampak interaksi digital tertutup.
Mayndra juga menjelaskan bahwa salah satu pelaku yang kembali aktif merupakan bagian dari jaringan Ansharut Daulah yang terhubung dengan ISIS. Ia menyampaikan, “Jadi untuk orang yang ditangkap pertama kali oleh Densus 88, diketahui jaringannya berasal dari jaringan ISIS atau Ansharut Daulah.” Indikasi tersebut memperlihatkan bahwa jaringan lama masih berupaya menjangkau kelompok usia muda.
Pendekatan awal yang digunakan pelaku sering kali memanfaatkan pertanyaan bernuansa keagamaan untuk memancing respons anak. Mayndra mencontohkan pertanyaan seperti, “Manakah yang lebih baik antara Pancasila dengan kitab suci?” yang dijadikan langkah awal menggeser pola pikir target. Strategi tersebut dirancang agar anak merasa sedang berdiskusi, bukan diarahkan.
BACA JUGA:Gunung Semeru Naik ke Level IV Awas Setelah Erupsi Besar, Warga Diminta Segera Evakuasi
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
