Skandal Tanah Ulayat, LMND Lampung dan Masyarakat Adat Way Kanan Serukan Perlawanan
DOKUMENTASI --ISTIMEWA
Way Kanan, RADARTVNEWS.COM – Terik matahari tidak menyurutkan langkah puluhan massa yang berkumpul di depan Kantor ATR/BPN Way Kanan.
Mereka datang membawa suara yang telah lama dibungkam, suara tanah, suara identitas, suara keadilan.
Di garda terdepan, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung berdiri berdampingan dengan Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Udik dari Kampung Tanjung Raja Giham.
Mereka bersatu dalam satu seruan yakni hentikan dominasi korporasi atas tanah ulayat rakyat.
Konflik ini bukan cerita baru. Akar persoalannya merentang hingga lebih dari tiga dekade lalu, tepatnya sejak tahun 1991. Kala itu, negara memberikan izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. Karisma, kini berada di bawah pengelolaan PT. Kartika Mangestitama, untuk mengelola ribuan hektar tanah yang sejatinya adalah milik leluhur masyarakat adat.
Janji perusahaan untuk memberikan ganti rugi atas tanaman tumbuh tak pernah sepenuhnya dipenuhi. Bahkan, setelah Berita Acara Kesepakatan pada 11 Oktober 2000 yang menyatakan akan ada pengembalian 4.870 hektar tanah kepada masyarakat, realisasi di lapangan jauh dari harapan. Dari janji membangun 600 hektar kebun produktif, hanya 150 hektar yang terealisasi. Ironisnya, sebagian besar lahan justru dijadikan tambang batubara dan diagunkan ke Salah satu Bank BUMN, tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan masyarakat adat.
"Tanah kami dijadikan agunan bank, sementara kami sendiri tak bisa menanam jagung di atasnya," ungkap salah satu tokoh adat dengan getir.
Situasi ini, menurut Marco Fadhillah dari Departemen Pengembangan Organisasi LMND Lampung, adalah bukti nyata bagaimana tanah rakyat terus dijadikan objek eksploitasi dalam sistem ekonomi kapitalistik.
Konflik agraria bukan sekadar urusan administratif atau batas wilayah, tapi cerminan telanjang dari pertarungan antara kepentingan rakyat dan kepentingan modal besar. Negara, yang seharusnya menjadi penyeimbang, justru berdiri di sisi korporasi yakni membiarkan, bahkan memfasilitasi, penguasaan tanah oleh segelintir elite ekonomi.
Perpanjangan HGU terus diupayakan tanpa transparansi, tanpa konsultasi publik. Birokrasi pertanahan terlihat lebih setia pada dokumen korporasi daripada pada jeritan rakyat. Demokrasi ekonomi seperti yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, terasa makin jauh dari kenyataan.
Namun, di tengah penindasan ini, kesadaran rakyat justru tumbuh. Aksi LMND dan masyarakat adat ini bukan semata reaksi emosional. Ia adalah bentuk kesadaran politik — bahwa sistem yang timpang tidak akan berubah tanpa perlawanan. Mereka datang dengan tiga tuntutan tegas yakni Tolak perpanjangan HGU PT. Karisma, Kembalikan tanah ulayat kepada masyarakat adat dan Tegakkan keadilan hukum tanpa diskriminasi.
LMND menyadari bahwa perjuangan agraria adalah bagian dari misi historis gerakan mahasiswa untuk berpihak kepada rakyat tertindas. Di jalanan, mereka membangun aliansi strategis: antara kaum terdidik dan masyarakat akar rumput. Meski jalan masih panjang, kesadaran kolektif sudah mulai terbangun.
Joshua Sitorus dari Departemen Kajian dan Bacaan LMND Lampung menyebut perjuangan ini sebagai simbol perlawanan terhadap sistem ekonomi-politik yang tak adil.
"Tanah bukan sekadar ruang ekonomi. Ia adalah ruang hidup, ruang budaya, dan sumber identitas. Penindasan atas tanah adalah penindasan atas kehidupan itu sendiri." Ujar Joshua.
Kini, saatnya negara berpaling dari logika kapital yang sempit. Sudah cukup tanah hanya dinilai dari angka-angka keuntungan.
Sudah saatnya negara menjalankan konstitusi dengan utuh: mengembalikan tanah kepada rakyat, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan membangun ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan bersama.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
