Memberangus Media

Memberangus Media

SEJARAH KELAM : Unjuk rasa memprotes tangan besi pemerintah Orba bredel media massa.-DeTik-

Oleh: Joko Intarto

--- 

Pasal karet dalam UU ITE dipersoalkan publik karena mengancam kebebasan berekspresi warga negara. Pemerintah bersama DPR kemudian merevisi UU ITE tersebut. Ternyata pasal karet itu tidak hilang. Hanya diganti redaksinya saja.

--- 

ORDE Baru sangat paham betapa strategisnya peran media massa dalam sistem demokrasi. Karena itu, media massa harus dibatasi kebebasannya. 

Dalam hal ini, Orde Baru menggunakan terminologi baru: Pers Pancasila. Secara sederhana, pers Pancasila adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Praktik pers Pancasila justru menakutkan. Pelaku industri pers tidak memiliki panduan yang jelas tentang batas ‘’kebebasan’’ yang diberikan. 

Tafsir tunggalnya ada di pemerintah. Suka-suka aparat pemerintah. Berita yang menurut redaksi ‘’biasa’’, bisa menjadi ‘’pelanggaran berat’’. Konsekuensinya ngeri: Korannya bisa dibredel. Wartawan dan pemimpinnya ‘’diproses’’ atau ‘’dibina’’, di luar jalur hukum. 

Berdasar pengalaman, instansi militerlah yang paling rajin melarang memberitakan peristiwa. Biasanya kalau ada peristiwa perkelahian, keributan, penyerobotan lahan, perkara hukum yang melibatkan anggota militer. Larangan dicabut setelah pimpinan instansi militer memberikan rilis atau menggelar jumpa pers. 

Berita tentang penemuan mayat seorang perempuan pada tahun 1991 awalnya aman-aman saja. Namun setelah polisi menemukan keterlibatan oknum militer, akses informasi tiba-tiba tertutup. 

Begitulah yang terjadi pada pemberitaan Marsinah, buruh pabrik jam di Sidoarjo, yang tewas setelah memimpin demo untuk menuntut hak para buruh. Berita penemuan mayat Marsinah awalnya lancar-lancar saja. Informasi dari kepolisian tiba-tiba macet setelah diketahui ada oknum tentara yang terlibat.

Dalam ketidaklancaran pemberitaan itulah saya mewawancarai istri pengusaha jam tempat Marsinah bekerja. Akses wawancara saya peroleh dari seorang pengusaha yang mengelola peternakan kuda milik pensiunan jenderal Herman Sarens Sudiro di Prigen, Pasuruan. 

Wawancara khusus akhirnya berlangsung di restoran sebuah hotel bintang empat di Surabaya. Hasil wawancara itu diterbitkan redaksi ‘’Jawa Pos’’. 

Agar tidak menyinggung pihak militer, redaktur mengakalinya sebagai hak jawab. Adapun hak jawab menurut UU Pers wajib diberikan penerbit kepada narasumber yang merasa dirugikan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait