Sejarah Perayaan Tahun Baru dan Larangan Umat Muslim Merayakan Tahun Baru

Sejarah Perayaan Tahun Baru dan Larangan Umat Muslim Merayakan Tahun Baru

LARANGAN RAYAKAN TAHUN BARU-al hayah-

RADARTV - Dalam beberapa jam ke depan, masyarakat dunia akan merayakan pergantian tahun, dari 2023 menuju 2024. Nah, biasanya seluruh masyarakat tanpa mengenal latar belakang larut dalam perayaan tahun baru. 

Seperti membuat acara khusus, mendatangi pusat keramaian, di hotel, pantai, dan pusat kota. Acara macam - macam, meniup terompet, menyalakan kembang api, makan - makan, minuman keras, konser musik hingga puncaknya count down atau hitung mundur,   detik - detik pergantian tahun. 

Negara Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, juga larut dalam perayaan ini. Padahal, sudah ada aturan jelas dan tegas dalam syariat Islam. Bahwasanya, umat Muslim dilarang atau haram merayakan tahun baru atau kegiatan sejenisnya.  

Sejarah Tahun Baru 

Bagi sebagian orang tidak tahu sejarah Perayaan Tahun Baru. Paling awal tercatat sudah ada sejak zaman Babilonia kuno sekitar 4.000 tahun yang lalu. Festival Tahun Baru ini sangat terkait dengan agama dan mitologi.

Manusia zaman itu menandai peristiwa tersebut dengan festival keagamaan besar-besaran yang disebut Akitu yang melibatkan ritual berbeda setiap hari selama 11 hari. 

Di peradaban kuno lainnya, Tahun Baru Persia disebut Nowruz (atau Nayruz) dan merupakan festival musim semi selama 13 hari yang diyakini berasal dari agama Zoroaster. 

Tradisi Nowruz, seperti api unggun dan telur berwarna, masih dirayakan di Iran dan wilayah lain di Timur Tengah dan Asia.

Artinya jika umat Muslim merayakan tahun baru sama saja menyerupai umat agama lain. 

Terdapat hadits mengenai larangan merayakan hari raya non-muslim yaitu Nairuz dan Mihrajan yang merupakan hari raya orang kafir saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang di Madinah. 

Saat itu mereka mempunyai kebiasaan merayakan hari Nairuz dan mihrajan. Nairuz adalah hari di awal tahun baru masehi (syamsiyyah) versi Majusi, sedangkan Mihrajan hari raya 6 bulan setelahnya. Mendapati fenomena ini saat di Madinah, 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umat Islam sudah mempunyai dua hari raya yaitu Iedul Fithri dan Iedul Adha, jadi tidak perlu ikut-ikutan merayakan hari raya tersebut.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang malan mereka biasa bersenang-senang ketika itu.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda, “Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.”[1]

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: