Sejarah Perayaan Tahun Baru dan Larangan Umat Muslim Merayakan Tahun Baru
LARANGAN RAYAKAN TAHUN BARU-al hayah-
Sahabat ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiallaahu ‘anhuma berkata, “Barangsiapa yang membangun negeri-negeri kaum ‘ajam (negeri kafir), meramaikan hari raya Nairuz dan Mihrajan (perayaan tahun baru mereka), serta meniru-niru mereka hingga ia mati dalam keadaan seperti itu, ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”[2]
Hari Nairuz adalah hari raya tahun baru orang Majusi menurut perhitungan kalender masehi (pergiliran matahari). Masyarakat kota madinah saat itu ikut-ikutan merayakan hari raya Majusi tersebut.
Beberapa kamus Arab menjelaskan demikian definisi Nairuz, semisal kamus AL-Lughah Al-Arabiyyah AL-Mu’aashir dijelaskan, “Nairuz adalah hari pertama pada tahun syamsiyyah versi Persia (bangsa Majusi saat itu).”
Imam Adz-Dzahabi menjelaskan Nairuz ini juga ikut-ikutan dilakukan oleh penduduk Mesir saat itu, beliau berkata, “Adapun hari Nairuz, penduduk Mesir berlebih-lebihan melakukan dan merayakannya. Nairuz adalah hari pertama pada tahun Qibhti yang mereka menjadikannya sebagai hari raya (diperingati setiap tahun), kemudian kaum muslimin mengikuti mereka (tasyabbuh).”[3]
Demikian juga dengan tahun baru masehi saat ini, bukan perayaan kaum Muslimin dan jelas itu adalah perayaan non-muslim serta memiliki sejarah yang terkait dengan agama kuno Romawi.
Sebagaimana dalam buku “The World Book Encyclopedia” vol.14 hal.237 dijelaskan: “Semenjak abad ke 46 SM raja Romawi julius caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun. Orang Romawi mempersembahkan hari 1 Januari kepada janus, dewa segala gerbang pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama janus sendiri,yaitu dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”.
Larangan Umat Muslim Rayakan Tahun Baru
Sebagai kaum muslimin tentu dilarang untuk ikut-ikutan merayakan hari raya mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka”[4]
Kita juga diperintahkan agar tidak tasyabbuh dengan orang Romawi dan Persia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.”
Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[5]
Allah melarang kita menghadiri dan ikut-ikutan perayaan hari raya orang musyrik.
Allah berfirman : ”Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS Al - Furqan : 72)
Maksud Az-Zuur dalam ayat ini adalah perayaan kaum musyrikin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: