Dia Ira...
IRA PUSPADEWI--
Saya kembali ingat direktur-direktur lain yang bahkan urusan pribadi pun memakai mobil kantor.
Saya bercerita kepada anak-anak saya: “Itulah integritas.”
Saya mengenal Ira sangat lama. Kami satu kelas sejak SMA. Ia tegas dan berprinsip. Tahun 1984, ia maju ke kepala sekolah meminta izin memakai jilbab. Saya, yang masih jahil, justru menentangnya. Kami sering berdebat, namun tetap bersahabat.
Di OSIS, saya menjadi ketua kelas karena dipilih banyak teman cowok. Ira justru menjadi wakil kelas yang maju dalam pemilihan Ketua OSIS. Ia tidak menang—antara lain karena saya tidak memilihnya. Maafkan saya, Ir.
Namun Ira lebih dewasa dari saya. Kami tidak bermusuhan. Ketika kelas 3, kami justru sering belajar bersama.
Saat kuliah di Fakultas Peternakan UB, kami sekelompok lagi di Senat Mahasiswa. Selepas kuliah, kami terpisah, lalu terhubung lagi saat era Facebook.
Ira menginisiasi reuni alumni SMA, alumni kuliah, dan terus berlanjut. Ia menyediakan dana, waktu, bahkan produk GAP untuk dilelang guna membantu alumni yang membutuhkan.
Rumahnya selalu terbuka bagi teman. Ia suka memasak rawon untuk kami.
Tahun 2011, istri saya terkena stroke ringan. Ira dan suaminya, Mas Zaim, menghubungi saya. Mereka menawarkan perawatan khusus di Tangerang. “Kalau Mas Pam sibuk, antar Mbak Wiwed ke Jakarta. Sehari saja. Sisanya kami yang urus,” kata Mas Zaim.
Itulah yang terjadi. Istri saya tinggal di rumah mereka. Setiap hari disediakan sopir ke tempat terapi. Sepuluh hari kemudian, istri saya membaik.
BACA JUGA :WN Australia Penyergap Ariana Grande Dideportasi dan Diblokir Masuk Singapura
“Yang dilakukan Mbak Ira membuat saya tahu arti seorang teman,” kata istri saya.
“Teman itu saudara. Saudara yang kita pilih,” kata Ira.
Ira juga menolong teman lain yang bekerja di luar negeri dan mengalami masalah. Ia bantu hingga bisa pulang dan mendapat pekerjaan baru di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
