RADARTVNEWS.COM – China mendesak Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, menarik pernyataannya soal Taiwan karena dianggap campur tangan urusan internal dan berpotensi merusak hubungan bilateral. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, memperingatkan Jepang akan menanggung konsekuensi jika pernyataan itu tidak dicabut, sekaligus menegaskan respons tegas bila Jepang melakukan intervensi militer di Selat Taiwan.
Media pemerintah China menuding Takaichi mendorong kebangkitan militerisme Jepang melalui retorika yang disampaikannya di parlemen pekan lalu. Pernyataan itu menyebut serangan bersenjata terhadap Taiwan dapat memicu pengerahan pasukan Jepang berdasarkan skema “pertahanan bersama kolektif,” karena dianggap mengancam keamanan Jepang secara langsung.
Menanggapi hal tersebut, Jepang memanggil Konsul Jenderal China di Osaka, Xue Jian, menyatakan keprihatinan atas unggahan yang dianggap mengancam PM Takaichi. Menteri Luar Negeri Jepang, Toshimitsu Motegi, menekankan pentingnya China menjaga hubungan bilateral, meski belum ada keputusan terkait status diplomat tersebut maupun langkah diplomatik selanjutnya.
Lin Jian menegaskan bahwa pernyataan PM Jepang merupakan campur tangan langsung dalam urusan internal China, tantangan terhadap kepentingan inti, dan pelanggaran kedaulatan negara. Ia juga menyinggung sejarah agresi militer Jepang di Asia dan mempertanyakan apakah Jepang akan mengulang kesalahan masa lalu yang menimbulkan ketegangan regional.
“Kami menentang pernyataan semacam itu. Jepang harus segera memperbaiki kesalahannya dan mencabut pernyataan yang tidak berdasar. Jika tidak, segala konsekuensi yang timbul harus ditanggung pihak Jepang,” ujar Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Kamis (13/12).
BACA JUGA:PM Jepang Shigeru Ishiba Mundur Usai 11 Bulan Menjabat, LDP Gelar Pemilihan Kepemimpinan Darurat
Lin menekankan bahwa Taiwan adalah bagian dari China dan cara menyelesaikan masalah serta reunifikasi nasional merupakan urusan rakyat China. Ia menambahkan bahwa upaya Jepang ikut campur merupakan penghinaan terhadap keadilan internasional, provokasi terhadap tatanan pasca-Perang Dunia II, dan pukulan bagi hubungan China-Jepang secara keseluruhan.
Sejak Perang Dunia II, konstitusi Jepang membatasi operasi militer. Namun, mantan PM Shinzo Abe pada 2015 mengubah undang-undang keamanan nasional sehingga Jepang dapat menggunakan kekuatan terbatas berdasarkan hak membela diri kolektif, terutama bila terjadi “situasi yang mengancam kelangsungan hidup” negara.
Dalam rapat Komite Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, PM Takaichi menegaskan pernyataannya dibuat berdasarkan skenario terburuk terkait Taiwan. Pemerintah akan menilai setiap situasi yang dianggap mengancam kelangsungan hidup berdasarkan informasi konkret dari kasus spesifik, sehingga tindakan militer atau diplomatik dapat diambil sesuai kebutuhan.
Takaichi menyatakan pernyataannya sejalan dengan posisi resmi pemerintah dan tidak akan dicabut. Ia juga menahan diri memberikan komentar tentang kasus tertentu di masa depan, sambil menegaskan pernyataan tersebut bukan pandangan seragam seluruh pemerintah Jepang, melainkan pertimbangan strategis pemerintah.
Ketegangan ini menandai titik kritis hubungan diplomatik China-Jepang terkait Taiwan. Ancaman China dan sikap tegas Jepang menunjukkan risiko meningkatnya ketegangan regional di Asia Timur, yang perlu dikelola hati-hati agar tidak berkembang menjadi konflik militer berskala besar di kawasan.
BACA JUGA:Menkeu Purbaya Berharap Terlibat dalam Negosiasi Utang Whoosh ke China
Diplomasi kedua negara kini menjadi sorotan internasional karena setiap langkah Jepang maupun China dapat memengaruhi stabilitas regional. Para analis menilai komunikasi hati-hati antara Tokyo dan Beijing sangat penting agar ketegangan tetap terkendali dan tidak menimbulkan dampak lebih luas bagi Asia Timur.