OPINI : Nyanyian yang Menakutkan

Rabu 31-01-2024,04:30 WIB
Editor : Hendarto Setiawan

Dalam buku ‘’Ayat-Ayat yang Disembelih’’ karya Anaf Afifi dan Thowaf Zufaron yang saya editori, proklamasi negara komunis pada 1948 itu diawali dengan teror penculikan dan pembunuhan tokoh seperti bupati, kyai, guru, polisi dan tentara di Jawa Tengah (Tegal/ Brebes), kemudian merembet ke Jawa Timur (hingga Banyuwangi) dalam waktu hampir bersamaan. Salah satu jejak kebiadaban PKI diabadikan dalam ‘’Tugu Gorang Gareng’’ di Desa Gorang Gareng, Kabupaten Madiun. Saya mengunjungi tugu ini untuk menguji akurasi naskah pada buku tersebut.

Muso yang menjadi Pimpinan PKI ditembak mati pada 31 Oktober 1948 dalam penangkapan di Desa Semanding, Kecamatan Kauman Sumoroto, Kabupaten Ponorogo. Jenazahnya dibawa ke alun-alun kota Ponorogo dan dibakar massa. Amir Syarifuddin, presiden negara komunis yang kabur bersama Muso berhasil lolos. Namun ia akhirnya tertangkap di wilayah Jati Pohon, Kecamatan Grobogan, Jawa Tengah. Pada 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, Amir Syarifuddin dieksekusi di kompleks makam Desa Ngaliyan, Solo.

Rumah persembunyian Amir Syarifuddin di samping kolam renang peninggalan zaman penjajahan Belanda itu sekarang menjadi home stay yang dikelola PT Perhutani. Saya pernah menginap semalam bersama keluarga di situ. Jaraknya kurang lebih 20 Km dari rumah Mbah Kakung saya. Kalau melintasi jalan utama Purwodadi – Pati, Anda bisa singgah di sini untuk bermalam atau sekedar ngopi. Lokasinya persis di sebelah kiri jalan.

Komunisme dan PKI adalah tragedi kemanusiaan terkelam dalam perjalanan Republik Indonesia. Tanyakan pada semua orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang saat ini berusia 65 tahun atau lebih. Pasti mereka bisa menceritakan dengan baik bagaimana sepak terjang PKI dan organisasi-organisasi sayapnya seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan Anda juga bisa menggali penyebab lagu ‘’Genjer-Genjer’’ menjadi nyanyian terlarang.

Lagu ‘’Genjer-Genjer’’ diciptakan Mohammad Arief dengan syair berbahasa Jawa Osing (Jawa dialek Banyuwangi). Menurut sejumlah referensi, ‘’Genjer-Genjer’’ terinspirasi kehidupan rakyat kecil yang miskin pada masa penjajahan Belanda. Kedatangan Jepang yang mengaku sebagai ‘’Saudara Tua’’ sempat memberi harapan. Namun kenyataannya Jepang membuat kehidupan rakyat lebih sengsara. Semua hasil sawah, kebun dan ternak dirampas tentara Jepang. 

Begitu miskinnya rakyat di bawah penjajahan Jepang, sampai-sampai untuk makan sayur dari kebun sendiri pun tidak sanggup. Terpaksa rakyat mengolah daun genjer yang rasanya pahit itu. Konon tentara Jepang tidak doyan karena rasanya.

Mohammad Arief kemudian menyusunnya menjadi bait lagu ini mengisahkan tanaman ‘’genjer’’ (kelayan, atau eceng/Limnocharis flava) yang ‘’pating keleler’’ (jumlahnya banyak tapi tidak diurus) di ‘’kedokan’’ (rawa, sawah atau perairan dangkal) yang dipanen ‘’emake thole’’ (ibu seorang). Daun genjer itu kemudian ‘’diunting’’ (diikat agar bernilai) untuk dijual ke pasar.

Dalam jurnal ‘’Genjer-Genjer dan Stigmanisasi Komunis’’ (2003) sebagaimana ditberitakan news portal Kompas, Paring Waluyo Utomo menyebutkan bahwa Mohammad Arief kemudian bergabung ke Lekra, organisasi sayap PKI. Lagu ‘’Genjer-Genjer’’ ciptaannya diajukan sebagai portofolio bahwa ia seorang seniman / budayawan pencipta lagu. 

Dari Banyuwangi, lagu ‘’Genjer-Genjer’’ dikenal luas, karena menjadi ‘’lagu wajib’’ untuk menyambut tamu dan tokoh sentral PKI setiap berkunjung ke Banyuwangi. Utan Parlindungan dalam buku Musik dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna (2007) sebagaimana dilansir news portal Kompas menuliskan bahwa DN Aidit kemudian menjadikan lagu ‘’Genjer-Genjer’’ sebagai mars PKI.

Saya tahu informasi ‘’Genjer-Genjer’’ sebagai lagu yang tidak boleh dinyanyikan kali pertama saat duduk kelas dua SMA tahun 1984. Mbah Kakung saya yang pendukung Bung Karno (PNI dan Marhaenisme) kemudian menceritakan tafsir ‘’Genjer-Genjer’’ itu, versi penguasa Orde Baru. 

Tanaman ‘’genjer’’ adalah perlambang wong cilik alias rakyat kecil yang ‘’keleleran’’ atau selalu diabaikan penguasa, sampai datang ‘’emake thole’’ yang diibaratkan Gerwani/PKI untuk ‘’menguntingi’’ mengajak rakyat mengikatkan diri dalam satu organisasi (PKI) agar daun genjer (wong cilik) bisa ‘’didol’’ atau dijual/ bernilai. 

Peristiwa G-30-S PKI terjadi tahun 1965. Sedangkan saya mendapat informasi lagu ‘’Genjer-Genjer’’ tahun 1984. Rentang waktunya sudah cukup lama: 19 tahun. Selama periode itu, tak sekali pun saya memperoleh informasi tentang lagu ‘’Genjer-Genjer’’, baik notasi maupun liriknya. 

Tidak ada orang yang berani menyanyikan lagu itu, karena bisa dituduh berpaham komunis dan anggota PKI. ‘’Komunis’’ dan ‘’PKI’’ adalah dua kata yang sangat menakutkan bagi rakyat selama kepemimpinan Pak Harto. Rakyat akan berusaha sekuatnya agar tidak sampai mendapat cap ‘’komunis’’ atau ‘’anggota PKI’’ karena bisa menyulitkan hidupnya yang sudah sulit.

Celakanya cap ‘’komunis’’ dan ‘’PKI’’ sering dimanfaatkan penguasa secara serampangan. Cap ‘’komunis’’ dan ‘’PKI’’ menjadi senjata bagi penguasa yang otoriter. Rakyat yang tidak setuju dengan program pembangunan, bisa mendapat predikat ‘’komunis’’ dan ‘’PKI’’. Apalagi sampai menolak dan melawan. 

Saya masih ingat bagaimana beratnya masyarakat desa yang menerima proyek waduk Kedung Ombo, di Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, menjelang akhir dekade 90-an. Namun cap ‘’komunis’’ dan ‘’PKI’’ benar-benar menakutkan mereka. Apalagi Grobogan dalam peta politik adalah ‘’kawasan merah pekat’’.

Meski begitu, para mahasiswa tidak punya rasa gentar menghadapi tekanan dan ancaman senjata saat mengadvokasi rakyat yang menjadi korban proyek Kedung Ombo. Pada kelompok terpelajar ini, cap ‘’komunis’’ dan ‘’PKI’’ rupanya tidak mempan.

Kategori :