Kasus Penolakan Alimin Ribut Sujono atas Vonis Mati Sambo dan Dampaknya bagi Independensi Peradilan
--Freepik
BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - Komisi III DPR RI resmi menolak Alimin Ribut Sujono dalam seleksi calon hakim agung 2025 setelah melalui fit and proper test yang digelar pertengahan September lalu. Alimin, yang dikenal publik karena menjatuhkan vonis mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, gagal melangkah ke tahap akhir seleksi.
Dalam keputusan pleno yang digelar pada 16 September 2025, Alimin memperoleh nol suara dari seluruh anggota Komisi III DPR RI dan tercatat sebagai satu dari enam calon yang dicoret dari daftar. Sementara itu, sepuluh calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM lainnya dinyatakan lolos.
Sebelum keputusan tersebut, proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III berlangsung dengan tegang. Dalam sesi tanya jawab, sejumlah anggota DPR menyoroti keputusan Alimin yang menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo. Politisi Demokrat, Benny K. Harman, secara terbuka mempertanyakan dasar hukum dan pertimbangan moral atas vonis mati itu.
BACA JUGA:Tolak Hukuman Mati, MA Putuskan Ferdy Sambo Dihukum Seumur Hidup di Kasasi
Pertanyaan tersebut menegaskan bagaimana keputusan seorang hakim dalam kasus besar dapat menjadi beban politik dalam seleksi jabatan yudisial. Pada akhirnya, dalam rapat pleno 16 September, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman memimpin sidang yang menghasilkan keputusan aklamasi dimana Alimin tidak mendapatkan dukungan dari satupun anggota DPR.
Penolakan ini memicu perdebatan luas mengenai cara DPR menjalankan fungsi fit and proper test serta sejauh mana proses tersebut menjaga atau justru melemahkan independensi peradilan. Sejumlah akademisi hukum dan organisasi masyarakat sipil menilai bahwa keputusan DPR lebih mencerminkan tekanan politik dan opini publik ketimbang penilaian objektif atas kompetensi, integritas, dan profesionalisme calon hakim.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa independensi hakim bisa terancam karena keputusan yudisial masa lalu mereka dijadikan ukuran utama seleksi, tanpa melihat kerangka hukum yang lebih luas.
Dari perspektif publik, penolakan ini bisa dipandang sebagai langkah demokratis yang merespons keresahan masyarakat terhadap hukuman mati. Namun disisi lain, langkah DPR juga bisa dianggap menggunakan kasus sensitif yang sarat muatan emosional sebagai instrumen politik.
Persepsi bahwa seleksi calon hakim lebih dipengaruhi oleh opini publik dan kekuatan politik berisiko menurunkan legitimasi lembaga peradilan. Jika independensi peradilan terganggu oleh tekanan politik, maka prinsip keadilan substantif yang seharusnya berdiri di atas hukum akan melemah.
Kasus Alimin juga menetapkan putusan kontroversial dimana seorang calon hakim dapat dijadikan tolok ukur dalam proses seleksi, bahkan ketika putusan itu telah melalui jalur banding dan koreksi di tingkat Mahkamah Agung. Konsekuensinya, hakim yang tengah menjalani tugas yudisial bisa menjadi ragu dalam mengambil keputusan pada perkara yang berpotensi kontroversial.
Kekhawatiran ini tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga menyangkut kemandirian institusional peradilan di Indonesia. Tekanan politik dalam seleksi pejabat yudisial dapat menciptakan efek jera, di mana hakim lebih memilih mengambil keputusan aman untuk melindungi karir pribadi ketimbang menegakkan hukum secara objektif.
Lebih jauh, kejadian ini menyoroti kelemahan mekanisme fit and proper test di DPR. Proses seleksi hakim agung yang seharusnya berbasis merit, transparansi, dan kriteria akademis justru rawan dipengaruhi faktor politik dan opini publik.
BACA JUGA:Presiden Naikkan Gaji Hakim hingga 280 Persen, Menuai Beragam Tanggapan Publik
Beberapa pihak menyerukan agar Komisi Yudisial bersama DPR membangun sistem seleksi yang lebih objektif dan akuntabel, dengan indikator yang jelas dan terukur, serta keterlibatan publik yang bermakna. Mekanisme yang transparan akan memperkuat legitimasi peradilan sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
