BANNER HEADER DISWAY HD

Greenpeace: Hutan Alam di Sumut Kini Tinggal 14 Juta Hektare, Krisis Lingkungan Semakin Nyata

Greenpeace: Hutan Alam di Sumut Kini Tinggal 14 Juta Hektare, Krisis Lingkungan Semakin Nyata

-Dok.Polda Sumut-

RADARTVNEWS.COMGreenpeace Indonesia memperingatkan bahwa kondisi hutan alam di wilayah Sumatera Utara kini berada dalam titik krisis serius. Berdasarkan analisis terbaru mereka, hanya tersisa sekitar 14 juta hektare hutan alam di Sumut angka yang jauh lebih rendah dibanding tutupan hutan beberapa dekade silam.

Menurut data yang dirujuk oleh Greenpeace dari Sistem Monitoring Hutan Nasional (SIMONTANA) milik pemerintah, sejak tahun 1990 hingga 2024 terjadi alih fungsi hutan alam di Sumut secara masif. Banyak kawasan hutan yang telah berubah menjadi perkebunan, lahan pertanian kering, maupun hutan tanaman industri. 

Peneliti senior kampanye hutan Greenpeace, Sapta Ananda Proklamasi, menyebut bahwa luas 10–14 juta hektare itu mungkin mewakili keseluruhan hutan alam yang tersisa menunjukkan bahwa hutan alam kini kurang dari 30 persen dari total luas Pulau Sumatra (sekitar 47 juta hektare).

Alih fungsi lahan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya tutupan vegetasi, tapi juga memengaruhi fungsi ekologis hutan sebagai penyangga baik untuk biodiversitas, tata air, maupun kestabilan tanah.

Greenpeace memperingatkan bahwa banyak sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatra termasuk di Sumut kini dalam kondisi kritis akibat penurunan tutupan hutan alam. Sebagian besar DAS di Pulau Sumatra dilaporkan memiliki tutupan hutan alam kurang dari 25 persen. Kondisi ini sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, terutama saat hujan ekstrem atau bencana alam. 

Salah satu wilayah yang disorot adalah DAS Batang Toru bentang hutan tropis tersisa di Sumut yang kini menghadapi tekanan berat dari izin-izin industri dan proyek ekstraktif, termasuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). 

BACA JUGA:Jepang Bangun Tembok Tsunami 395 KM & Tanam 9 Juta Pohon: Strategi Ganda Hadapi Bencana Iklim

Dalam rentang 1990–2022, DAS Batang Toru mengalami deforestasi seluas sekitar 70 ribu hektare (sekitar 21 persen dari total luas DAS). Kini luas hutan alam yang tersisa di area itu hanya sekitar 167 ribu hektare berarti sekitar 49 persen dari luas awal DAS. 

Selain itu, terdapat sekitar 94 ribu hektare wilayah DAS yang telah mendapatkan izin untuk kegiatan ekstraktif dan berbasis lahan seperti perkebunan sawit, pertambangan, maupun konsesi lainnya atau sekitar 28 persen dari total area DAS. 

Greenpeace juga menghitung potensi erosi tahunan di kawasan tersebut bisa mencapai 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen dari erosi ini berasal dari area yang tingkat kerawanan erosi tanahnya sangat tinggi lebih dari 180 ton per hektare per tahun. 

Menurut penjelasan mereka, kondisi hulu DAS sudah banyak berubah fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan bagian hilir telah beralih menjadi perkebunan sawit dan industri pulp-kertas. Hutan alam yang tersisa kini hanya berada di bagian tengah DAS. 

Kondisi ini membuat DAS dan sungai-sungai rentan terhadap banjir, longsor, serta bencana hidrometeorologi karena kehilangan fungsi alami sebagai penyangga dan penyerap air.

Belakangan, wilayah Sumut dan sekitarnya dilanda banjir bandang, longsor, dan bencana hidrometeorologi yang menurut Greenpeace tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan jangka panjang dan deforestasi masif. 

BACA JUGA:Bencana di Sumatra Disebut “Manmade”, Prabowo Gerakkan Satgas Hutan dan Sawit

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: