Normalisasi Rangkap Jabatan Mengancam Tata Kelola Pemerintahan
--Freepik
BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - Praktik rangkap jabatan yang perlahan dinormalisasi di ruang publik dan birokrasi sekarang muncul sebagai ancaman nyata terhadap tata kelola pemerintahan dengan membuka celah konflik kepentingan, melemahkan akuntabilitas, dan menurunkan kepercayaan publik.
Tren ini tidak hanya soal ibu kota dinamika serupa terlihat di daerah seperti Lampung, di mana rotasi jabatan, mutasi, dan kasus-kasus integritas menjadi konteks nyata dari risiko tersebut.
Rangkap jabatan membuat tugas publik dan kepentingan swasta/bisnis bercampur. Lembaga pengawas dan beberapa analis telah memperingatkan bahwa ketika pejabat publik merangkap posisi di BUMN atau swasta, keputusan kebijakan bisa dipengaruhi oleh kepentingan di luar tugas resmi, melemahkan prinsip good governance.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyorot larangan rangkap jabatan untuk jabatan tertentu dan uji materi terkait wakil menteri menambah bukti bahwa isu ini sistemik dan butuh penanganan tegas.
BACA JUGA:Ustadz Khalid Basalamah Kembalikan Uang ke KPK Terkait Dugaan Korupsi Kuota Haji 2024
Adapun dampak praktisnya adalah adanya konflik kepentingan memudahkan peluang korupsi, kebocoran anggaran, dan keputusan yang tidak optimal untuk publik. Di Lampung, isu itu mendapat wajah lokal.
Pemerintah provinsi dan kabupaten melakukan rolling dan pelantikan pejabat sepanjang 2025 tindakan administratif yang wajar, namun disisi lain muncul kekhawatiran soal pejabat yang memegang lebih dari satu peran strategis yang membuat efektivitas dan fokus pelayanan publik tergerus.
Pemerintah Provinsi Lampung juga aktif melantik pejabat administrator dan pengawas, sebuah praktik yang menuntut pengawasan ketat agar rangkap jabatan tidak jadi kebiasaan.
Indikator integritas lokal menyuguhkan gambaran campuran. Lampung Selatan tercatat meraih angka survei integritas yang relatif baik pada 2024, namun temuan-temuan pelaporan perkara korupsi di kabupaten lain seperti Lampung Tengah memperlihatkan celah pengawasan dan potensi konflik kepentingan yang belum tertutup. Artinya, pencapaian indikator tidak menjamin tidak adanya praktik rangkap jabatan kewaspadaan institusi tetap harus ditingkatkan.
Secara hukum ada kerangka yang bisa menjadi dasar pembenahan, contohnya sejumlah aturan UU dan peraturan teknis melarang atau membatasi rangkap jabatan untuk jabatan tertentu, termasuk aturan terkait komisaris, pejabat eselon, dan ASN.
Namun penegakan aturan itu yang seringkali problematis lembaga-lembaga penegak dan administrasi harus konsisten menegakkan larangan, memperjelas sanksi, dan menutup celah legal yang memungkinkan praktik rangkap jabatan tetap berlangsung.
BACA JUGA:Empat Mahasiswa UI Gugat UU Kementerian Negara karena Celah Rangkap Jabatan Menteri
Normalisasi rangkap jabatan bukan sekadar soal etika birokrasi ini soal efektivitas pelayanan publik dan legitimasi pemerintahan. Jika dibiarkan, rangkap jabatan akan terus mengikis kualitas tata kelola, khususnya di daerah yang tengah berjuang menegakkan integritas.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
