BANNER HEADER DISWAY HD

Dampak Perang Iran-Israel pada Neraca Perdagangan dan Anggaran Indonesia

Dampak Perang Iran-Israel pada Neraca Perdagangan dan Anggaran Indonesia

--

RADARTVNEWS.COM - Perang yang berkecamuk antara Israel dan Iran sejak Juni 2025 telah memberikan dampak luas dan nyata bagi Indonesia, terutama di sektor ekonomi, perdagangan, dan stabilitas pasar keuangan. 

Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik ini, ketergantungan negara pada energi impor dan keterbukaan ekonomi membuatnya rentan terhadap gejolak global yang dipicu oleh eskalasi perang di Timur Tengah.

Salah satu dampak paling mencolok dari konflik ini adalah melonjaknya harga minyak dunia. Usai serangan Israel terhadap instalasi nuklir dan militer Iran pada 13 Juni 2025, harga minyak mentah langsung meroket hingga menyentuh angka sekitar 75 dolar AS per barel—angka tertinggi dalam enam bulan terakhir. 

Lembaga riset Oxford Economics bahkan memperingatkan bahwa harga minyak bisa melesat hingga 130 dolar AS per barel apabila ketegangan terus meningkat dan mengganggu distribusi global, terutama jika Iran memutuskan untuk menutup Selat Hormuz, jalur strategis yang mengalirkan sebagian besar ekspor minyak dunia, termasuk ke Indonesia. 

Mengingat sekitar 80 persen kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional masih bergantung pada impor, lonjakan harga ini berisiko menimbulkan tekanan serius terhadap neraca perdagangan serta anggaran negara.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan bahwa hingga April 2025, ekspor Indonesia masih tumbuh sebesar 6,65 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dan belum terlihat dampak signifikan dari konflik terhadap kinerja perdagangan nasional. 

Namun, pemerintah tetap mewaspadai potensi gangguan pasokan dan berupaya menyiapkan pasar alternatif agar ekspor tetap terjaga di tengah ketegangan geopolitik. 

Di sisi lain, kenaikan harga minyak memaksa pemerintah menambah alokasi subsidi energi untuk menahan harga di tingkat konsumen, yang dapat membebani ruang fiskal dan memperbesar defisit anggaran jika perang berkepanjangan.

Lonjakan harga energi juga memicu inflasi, terutama di sektor transportasi dan pangan, yang berdampak pada daya beli masyarakat. Inflasi yang meningkat akan menekan kelompok penghasilan rendah hingga menengah, memperbesar risiko kemiskinan dan ketidakstabilan sosial. 

Selain itu, volatilitas pasar keuangan Indonesia meningkat, dengan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang mulai menunjukkan fluktuasi akibat ketidakpastian geopolitik global.

Dampak perang juga berimbas pada sektor ketenagakerjaan. Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, memperkirakan potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mencapai 100 ribu orang pada akhir 2025 akibat perlambatan ekonomi global dan tekanan pada sektor industri yang bergantung pada impor bahan baku dan energi murah. 

Hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah mitigasi guna menjaga stabilitas pasar tenaga kerja.

Secara politik, pemerintah Indonesia mengambil sikap netral dan bebas aktif, mengecam agresi militer yang melanggar hukum internasional dan menyerukan penyelesaian damai. 

Indonesia bersama negara-negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB) mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil peran aktif meredam konflik dan melindungi warga sipil, termasuk evakuasi warga negara Indonesia (WNI) yang berada di wilayah konflik. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: