Keputusan Trump Serang Iran Picu Protes dan Ancaman Pemakzulan
--
RADARTVNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—pada Jumat malam, 20 Juni 2025 waktu setempat, sebagai bagian dari operasi militer yang diberi nama "Midnight Hammer" (Paluan Tengah Malam).
Serangan ini menggunakan lebih dari dua puluh rudal jelajah Tomahawk dari kapal selam AS serta bom bunker-buster yang dijatuhkan oleh pesawat B-2 stealth bomber, khususnya menargetkan fasilitas Fordow yang berada sekitar 300 kaki di bawah tanah dan dilindungi pertahanan udara yang kuat.
Trump mengumumkan keberhasilan serangan tersebut melalui platform media sosial Truth Social, menyatakan bahwa "fasilitas nuklir utama Iran telah sepenuhnya dan total dihancurkan" dan semua pesawat telah kembali dengan selamat. Ia menegaskan bahwa ini merupakan "momen bersejarah bagi Amerika Serikat, Israel, dan dunia" serta menuntut Iran untuk segera mengakhiri konflik.
Serangan ini menandai eskalasi signifikan dalam ketegangan antara AS dan Iran, yang sebelumnya telah diperparah oleh konflik Israel-Iran dan serangkaian serangan militer di kawasan Timur Tengah.
Namun, keputusan Trump untuk melancarkan serangan tanpa persetujuan Kongres AS memicu kontroversi dan kecaman keras di dalam negeri. Beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat, seperti Alexandria Ocasio-Cortez, menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap Konstitusi dan Undang-Undang War Powers Resolution 1973 yang mengharuskan presiden meminta izin Kongres sebelum melakukan operasi militer besar. Mereka bahkan menyatakan bahwa keputusan ini merupakan dasar yang jelas untuk pemakzulan.
Di sisi lain, meskipun mayoritas Partai Republik mendukung langkah Trump, sejumlah tokoh penting dalam koalisi "Make America Great Again" (MAGA) seperti Steve Bannon dan Marjorie Taylor Greene menyuarakan penolakan terhadap serangan tersebut, mengingat Trump sebelumnya berjanji untuk mengakhiri keterlibatan militer AS di Timur Tengah.
Serangan ini juga memicu gelombang protes besar di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain. Ribuan demonstran turun ke jalan di kota-kota besar seperti Washington D.C., New York, Los Angeles, dan Chicago, mengekspresikan kemarahan dan penolakan terhadap kebijakan militer Trump yang dianggap gegabah dan berpotensi menjerumuskan AS ke dalam perang berkepanjangan.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan “Remember Iraq, no more wars based on lies” dan meneriakkan slogan “Hands off Iran.” Kelompok-kelompok anti-perang serta veteran militer turut bergabung dalam aksi ini, mengingatkan bahaya eskalasi konflik dan dampak kemanusiaan yang akan timbul.
Di Iran, serangan ini memicu kemarahan luas di kalangan masyarakat dan pemerintah. Warga di Tehran dan kota-kota lain turun ke jalan menuntut balasan tegas terhadap Amerika Serikat.
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengutuk serangan tersebut sebagai agresi yang melanggar hukum internasional dan memperingatkan bahwa Iran akan memberikan respons yang keras. Ketegangan di kawasan semakin meningkat dengan adanya serangan balasan berupa serangan rudal dan drone dari Iran ke wilayah Israel dan sekutunya.
Secara politik, serangan ini memperdalam perpecahan di Washington. DPR AS, yang didominasi oleh Partai Demokrat, mendesak penyelidikan dan mempertimbangkan langkah pemakzulan terhadap Trump atas pelanggaran konstitusional.
Namun, dengan kendali Senat yang masih dipegang Partai Republik, peluang pemakzulan tetap kecil. Meski demikian, tekanan politik dan publik terhadap Trump semakin besar, terutama dari kalangan yang menentang eskalasi militer di Timur Tengah.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
