Tanggapi Fatwa MUI, Dirjen Pajak: PBB Rumah Tinggal Bukan Pajak Pusat

Selasa 25-11-2025,19:07 WIB
Reporter : MG-Ratu Adzkia Nabila Bernatta
Editor : Jefri Ardi

RADARTVNEWS.COM – Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bimo Wijayanto, menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan yang menyoroti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada hunian masyarakat. Fatwa tersebut menilai PBB tidak layak dipungut karena bumi dan bangunan yang dihuni merupakan kebutuhan dasar, serupa dengan sembako.

Bimo menjelaskan bahwa PBB bukan dipungut oleh pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah (pemda). Penetapan rumah sebagai objek pajak dan kebijakan tarif sepenuhnya berada di bawah kewenangan daerah.

“Jadi, kebijakan tarif, kenaikan dasar pengenaan, semuanya di daerah. Kami juga sudah berdiskusi dengan MUI sebelumnya. Nanti akan kami tabayun dengan MUI karena yang ditanyakan itu PBB-P2,” ujar Bimo di DPR RI, Senin (24/11/2025).

Ia menambahkan, PBB yang dipungut pemerintah pusat hanya berlaku untuk tanah dan bangunan yang digunakan pelaku usaha di sektor pertambangan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan, bukan hunian masyarakat.

BACA JUGA:Munas XI MUI: Tegaskan Bumi dan Rumah Huni Tidak Layak Dipajaki Berulang

Bimo menegaskan bahwa barang kebutuhan pokok, termasuk sembako, tidak dikenakan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini sesuai ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menetapkan tarif 0 persen untuk barang kebutuhan dasar masyarakat.

Fatwa MUI terkait PBB-P2 merupakan salah satu keputusan Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar pada 20–23 November 2025 di Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta. Fatwa ini menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dikenakan pajak berulang dan lahir sebagai respons atas keresahan masyarakat terhadap kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.

Ketua Komisi Fatwa Munas XI MUI, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa fatwa ini diharapkan menjadi solusi bagi perbaikan regulasi. Upaya ini dimaksudkan agar pajak yang diberlakukan tetap mencerminkan keadilan dan tidak membebani kebutuhan pokok masyarakat.

Prof Ni’am menambahkan, objek pajak seharusnya dikenakan pada harta yang berpotensi produktif atau termasuk kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat). Menurutnya, pungutan terhadap rumah dan bumi yang dihuni tidak sejalan dengan prinsip keadilan.

BACA JUGA:MUI Gelar Munas XI di Ancol, Pembahasan Ketua Umum Baru hingga Isu Nasional Mengemuka

“Jadi, pungutan pajak terhadap kebutuhan pokok seperti sembako, serta rumah dan bumi yang dihuni, tidak mencerminkan keadilan dan tujuan pajak,” tegas Prof Ni’am.

Dengan penegasan ini, masyarakat diharapkan memiliki kepastian terkait kewajiban PBB rumah tinggal. Selain itu, pemerintah daerah dapat menyesuaikan kebijakan pajak sesuai prinsip keadilan dan kemampuan finansial warga, tanpa memberatkan masyarakat.

Kategori :