BANNER HEADER DISWAY HD

Beauty Privilege: Keistimewaan Nyata atau Sekadar Ilusi Semata

Beauty Privilege: Keistimewaan Nyata atau Sekadar Ilusi Semata

--Foto : Pinterest

RADARTVNEWS.COM - Di tengah budaya visual yang semakin mendominasi media sosial, iklan, hingga dunia kerja, istilah beauty privilege atau “hak istimewa karena penampilan menarik” makin sering diperbincangkan. Tapi, apakah benar wajah menawan bisa membuka lebih banyak peluang, atau ini cuma persepsi berlebihan dari masyarakat urban?

Fenomena ini memicu perdebatan: sebagian menyebutnya kenyataan sosial, sebagian lainnya menyebut ilusi atau bentuk kecemburuan terhadap standar tertentu.

Apa Itu Beauty Privilege?

Beauty privilege merujuk pada keuntungan sosial, ekonomi, atau profesional yang didapat seseorang karena dianggap menarik secara fisik. Orang dengan penampilan rupawan sering kali dinilai lebih cerdas, kompeten, atau bisa dipercaya, meskipun tidak ada hubungan langsung antara kecantikan dan kualitas tersebut.

Fenomena ini pertama kali dikaji secara akademik lewat konsep "halo effect", yaitu bias kognitif ketika satu aspek positif (seperti wajah menarik) memengaruhi penilaian terhadap aspek lainnya.

Fakta di Lapangan: Keistimewaan yang Terlihat

Sejumlah studi menunjukkan bahwa beauty privilege bukan isapan jempol. Di dunia kerja, pelamar kerja yang dianggap lebih menarik memiliki kemungkinan lebih besar untuk diterima. Penelitian dari University of Wisconsin menemukan bahwa orang yang menarik bisa mendapatkan gaji 10–15% lebih tinggi dibanding rekan mereka yang dianggap kurang menarik, dengan kualifikasi yang sama.

Di ruang sosial, orang cantik lebih sering mendapat bantuan, perhatian, bahkan toleransi. Sebuah studi dari Princeton University menyebutkan bahwa wajah dianggap “simetris” dan menarik lebih cepat dipercaya hanya dalam 0,1 detik pertemuan pertama.

Beauty Privilege di Era Media Sosial

Di platform seperti Instagram dan TikTok, tampilan visual menjadi senjata utama. Influencer dengan wajah dan tubuh ideal—sesuai standar dominan—lebih cepat viral, lebih sering mendapatkan endorsement, dan memiliki audiens yang lebih besar, terlepas dari isi kontennya.

“Estetika kini menentukan nilai ekonomi dan sosial,” kata Sinta Rahmania, pengamat media digital dari Universitas Paramadina. “Kita hidup di era lookism, di mana penampilan bisa jadi lebih penting daripada substansi.”

Namun, Ada yang Meragukan: Ilusi atau Ketidakadilan Sosial?

Sebagian pihak menyatakan bahwa pembicaraan soal beauty privilege bisa menjadi bentuk pelampiasan atau pembenaran atas ketidaksetaraan yang lebih luas. Ada pula yang berpendapat bahwa standar kecantikan berubah-ubah, sangat subjektif, dan terlalu dipengaruhi oleh budaya arus utama.

“Cantik itu relatif. Apa yang dianggap menarik di satu negara, bisa dianggap biasa saja di tempat lain,” ujar Reza Maulana, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta. “Jadi, tak semua orang yang merasa dirugikan oleh standar kecantikan bisa serta-merta menyalahkan sistem.”

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: