OPINI : Pemenang Ketahuan Sebelum Coblosan

OPINI : Pemenang Ketahuan Sebelum Coblosan

PARPOL ZAMAN ORBA-net-

Nomor 1: Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Logonya berlatar belakang hijau dengan gambar kabah berkelir hitam. PPP yang sekarang masih eksis itu, adalah partai yang berdiri pada zaman Order Baru. PPP diposisikan sebagai saluran aspirasi politik rakyat Indonesia yang beragaman Islam.

Nomor 2: Golongan Karya (Golkar). Logonya padi dan kapas dengan pohon beringin yang berlatar belakang warna kuning. Golkar diposisikan sebagai saluran politik pendukung pemerintahan Pak Harto. Setelah Pak Harto dilengserkan rakyat, Golkar resmi menjadi partai politik. Namanya menjadi Partai Golkar. Logonya tidak berubah.

Nomor 3: Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Logonya kepala banteng. Latar belakangnya merah. PDI menjadi saluran aspirasi politik pendukung Bung Karno yang ditumbangkan Pak Harto. Dalam perjalanannya, PDI kemudian terbelah. Sebagian bergabung ke partai baru: PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. 

Hingga tahun 1998, hanya tiga partai itulah yang menjadi peserta pemilu. Golkar sebagai partai penguasa sangat perkasa. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Golkar selalu menang telak dalam setiap pemilihan umum selama 30 tahun. Sampai muncul joke: Pemilu belum dimulai, pemenangnya sudah ketahuan: Ya Golkar itu.

Dengan menang pemilu, Golkar menguasai kursi DPR. Rasanya sekitar 70% - 80% anggota DPR pada era Orde Baru berasal dari Golkar. Tidak cukup sampai di situ, fraksi utusan daerah dan golongan yang mewakili golongan yang tidak mengikuti pemilu seperti anggota ABRI, polisi dan PNS juga diisi ‘’orang-orang’’ Golkar. Pendek kata, kekuatan Golkar pada era Orde Baru adalah single majority. 

Kekuatan PPP dan PDI di DPR tidak sampai 10%. Kedua partai itu hanya dijadikan simbol bahwa pemerintah telah menjalankan prinsip demokrasi. Pemenang calon presiden/wakil presiden ditentukan Golkar melalui fraksinya di DPR dan ditambah supporternya yang ditempatkan di fraksi utusan daerah dan golongan. 

Sebenarnya masyarakat sudah mulai gelisah dengan kondisi politik yang diwarnai demokrasi akal-akalan ala Pak Harto itu. Saya mengetahuinya setelah menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1986 – 1991). Dari para senior di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) saya saya tahu betapa kuatnya pengaruh Orde Baru dalam meredam gerakan mahasiswa. 

Prof DR Arief Hidayat SH yang pernah menjadi hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu aktivis senior dalam pergerakan mahasiswa di kampus. Ia kemudian menjadi asisten dosen Hukum Tata Negara. Abdul Rahman Garuda Nusantara, adik kandung pengacara kondang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) saat itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara, menjadi teman seangkatan sekaligus teman diskusi politik semasa kuliah.

Kata ‘’diciduk’’ dan ‘’pencidukan’’ menjadi istilah yang sangat polular dan menakutkan bagi sebagian mahasiswa. Beda dengan pengertian ‘’terciduk’’ yang sekarang. ‘’Diciduk’’ artinya ada tokoh mahasiswa yang ditangkap atau diculik. ‘’Pencidukan’’ berarti gelar operasi untuk menangkapi mahasiswa. Namun demikian, tetap muncul tokoh-tokoh mahasiswa yang bernyali besar melawan pemerintah yang otoriter.

Ketika menjadi pengurus penerbitan kampus, saya mencoba menyelami: Apakah para mahasiswa yang orang tuanya menjadi tokoh Golkar dan ABRI punya aspirasi yang sama dengan para aktivis mahasiswa pro demokrasi? Melalui kuisioner yang saya bagikan, saya memperoleh jawaban yang menarik: 

Ternyata mereka pun tidak puas dengan sistem politik yang berlaku saat itu. Tapi mereka takut bergabung dengan gerakan mahasiswa: Takut ‘’diciduk’’ dan takut karir orang tuanya habis. 

Penelitian kecil-kecilan itu ternyata mendapat sambutan para pembaca. Itulah artikel pertama saya di majalah kampus ‘’Gema Keadilan’’ setelah belajar metode penelitian sosial dari seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang menjadi pelanggan majalah ‘’Tempo’’ dari usaha keagenan media yang saya jalankan untuk membiayai kuliah. 

Artikel itu menjadi pelajaran penting bagi saya dalam memahami pemilihan tema, kredibilitas narasumber, kedekatan isu dengan pembaca dan kejelian mengungkap fakta. Kelak, pelajaran itu menolong saya setelah menjadi wartawan ‘’Jawa Pos’’.

Andaikata saat itu sudah ada media sosial dan UU ITE, rasanya pemerintah harus membangun penjara baru untuk memidana para pelaku kriminal. Semua kamar penjara yang ada mungkin habis hanya untuk memenjarakan mahasiswa.(Bagian 1: bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: