OPINI : SAMPAI KIAMAT : (Bagian I) Oleh : Joko Intarto
Foto: Limbah hilirisasi nikel yang mencemari ekologi laut di Sulawesi Tenggara. -kompas.id-
Banyak gagasan untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial mentok pada keterbatasan dana atau pembiayaan program. Sementara ada sumber potensial yang belum banyak dimanfaatkan. Artikel ini saya tulis dari pelajaran saat review sustainability report salah satu perusahaan nasional.
----------------
Selain mencari keuntungan, keberlanjutan merupakan tujuan yang hendak dicapai semua Perusahaan. Rasanya tidak ada pengusaha yang bercita-cita perusahaan cukup eksis satu generasi yang penting menguntungkan. Semua pengusaha pasti ingin agar perusahaannya eksis sepanjang masa dan selalu menciptakan laba sampai hari kiamat. Inilah yang dimaksud dengan keberlanjutan.
Namun, untuk mencapai keberlanjutan, Perusahaan tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri. Perusahaan memerlukan karyawan, mesin dan teknologi untuk menjalankan proses bisnisnya. Perusahaan memerlukan konsumen yang akan menggunakan produk yang dihasilkan. Perusahaan juga membutuhkan ketersediaan bahan baku dan rantai pasok serta dukungan masyarakat di sekitarnya.
Selain itu, Perusahaan juga memerlukan dukungan pemerintah selaku regulator terkait perizinan dan standarisasi industri, serta media massa yang menjalankan fungsi sebagai alat kontrol sosial.
Dengan demikian, untuk tujuan keberlanjutan, Perusahaan harus memastikan kelestarian daya dukung internal (regenerasi karyawan, mesin dan teknologi) sekaligus daya dukung eksternal (konsumen, bahan baku, rantai pasok, masyarakat, regulator dan media massa).
Program hilirisasi yang menjadi isu dalam debat calon presiden/wakil presiden pada Pemilihan Umum 2024 bukanlah hal yang buruk. hilirisasi bisa menciptakan peningkatan nilai tambah produk tambang yang tinggi sehingga menyumbang pendapatan negara secara signifikan.
Tetapi, hilirisasi yang dilakukan secara ugal-ugalan akan berdampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan turunnya Tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. Nilai tambah yang dinikmati masyarakat bisa jadi tidak sebanding dengan biaya untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Akhirnya masyarakat menjadi lebih miskin, meski perusahaan smelter itu menciptakan kekayaan yang sangat besar bagi para pemegang saham dan investornya.
Bila tidak segera dikoreksi, kondisi ini bisa membawa risiko bagi keberlangsungan perusahaan smelter tersebut. Masyarakat bisa jadi akan menolak kehadiran smelter karena dampak kerusakan ekologi yang sudah tidak bisa ditoleransi. Bahkan, Lembaga peradilan bisa memutuskan agar pemerintah mencabut izin smelter tersebut.
Risiko-risiko sebagaimana dijelaskan di atas merupakan ilustrasi sederhana bahwa tujuan keberlanjutan bisa gagal ketika Perusahaan tidak memiliki kepedulian pada aspek eksternal.
Untuk mengelola peluang dan risiko tersebut, perusahaan harus menjalin hubungan dengan seluruh stakeholdernya secara harmonis. Dari sinilah berkembang konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan atau yang biasa disebut dengan corporate sosial responsibility (CSR).
Dalam konsep kepedulian sosial dan lingkungan, perusahaan yang hebat bukan dipandang dari sisi kemampuannya menghasilkan keuntungan semata-mata. Perusahaan yang hebat juga harus peduli pada nasib dan masa depan lingkungannya.
Bergaung pada dekade 1970-an, konsep kepedulian sosial dan lingkungan telah menghasilkan banyak program yang memberi kesejahteraan bagi masyarakat dan kelestarian alam. Namun demikian, persoalan yang sama masih terus terjadi karena masih banyak Perusahaan yang mengabaikan prinsip tersebut.
Di negara-negara yang mengandalkan eksplorasi hasil alam, cerita duka akibat ketamakan pengusaha hitam yang bersekutu dengan aparat bermental korup dan politisi busuk jauh lebih banyak ketimbang kisah keteladanannya. Begitu pun di negara yang penegakan hukumnya lemah dan tingkat korupsinya tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: