"Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis": Ketika Air Mata Jadi Kompas Pemulihan
Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis--ISTIMEWA
RADARTVNEWS.COM - Di tengah banjir film melodrama bertema kesehatan mental, Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis muncul dengan warna tersendiri. Produksi Sinemaku Pictures ini disutradarai oleh Reka Wijaya Kusuma dan dibintangi Prilly Latuconsina sebagai Tari serta Pradikta Wicaksono sebagai Baskara. Sejak dirilis, film ini bukan hanya menawarkan kisah penuh emosi, tetapi juga pengalaman sinematik yang menyentuh hati penonton.
Yang menarik, film ini menempatkan harmoni visual dan musik sebagai pendorong utama emosi. Sinematografi terasa seolah menjadi mata hati yang merekam detail tiap tetes air mata Tari. Kamera sering kali memperlambat detik-detik pelepasan emosional, sementara soundtrack, terutama lagu Runtuh, tidak sekadar menjadi pelengkap, melainkan denyut napas cerita. Pendekatan ini membuat penonton seakan ikut larut dalam perjalanan batin sang tokoh.
Film ini juga berani melampaui batas dialog. Tangisan Tari tidak selalu hadir dalam bentuk suara, melainkan lewat tatapan kosong, helaan napas, dan keheningan panjang. Sutradara menggunakan teknik reverse shot untuk memperlihatkan kilatan masa lalu yang menghantui Tari. Efek visual tersebut menghadirkan nuansa psiko-emosional, seakan trauma yang dialami karakter benar-benar hidup di layar.
Chemistry antara Tari dan Baskara menjadi aspek lain yang memikat. Hubungan mereka tidak dibangun sekadar sebagai kisah cinta, melainkan sebagai pertemuan dua jiwa yang sama-sama terluka. Baskara, dengan sisi temperamentalnya, hadir sebagai cermin bagi Tari. Keduanya sama-sama membawa luka, dan justru dari titik rapuh itu mereka belajar untuk saling menyelamatkan.
Film ini juga menyinggung soal penyesalan yang sering datang terlambat. Lewat sosok ayah Tari, penonton diajak melihat bagaimana keangkuhan dan gengsi bisa berakhir pada kehilangan yang tidak pernah bisa ditarik kembali. Sentuhan ini membuat kisah Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis terasa lebih nyata, karena banyak orang di kehidupan sehari-hari yang baru menyadari arti keluarga setelah terlambat.
Sinemaku Pictures tidak berhenti di layar lebar saja. Melalui kanal YouTube, mereka meluncurkan video eksperimen sosial berformat sembilan episode. Berbagai pasangan,ibu-anak, sahabat, hingga keluarga, diajak menjawab pertanyaan emosional sambil memegang kartu khusus. Program ini menjadi ruang dialog yang nyata, mengurangi stigma tentang perasaan dan membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih berani berbagi.
Dampak film ini pun terlihat jelas. Sejak penayangan perdananya pada 17 Oktober 2024, Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis berhasil menarik lebih dari satu juta penonton hanya dalam beberapa minggu. Pencapaian tersebut menegaskan bahwa tema kesehatan mental kini semakin mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, produser Umay Shahab menekankan bahwa tujuan utama film ini adalah mengingatkan penonton bahwa menangis bukanlah kelemahan, melainkan langkah awal menuju penyembuhan.
Lebih dari sekadar sukses box office, film ini telah membuka wacana baru di dunia perfilman lokal. Ia menghadirkan pesan penting bahwa air mata bukan tanda kegagalan, melainkan bagian dari perjalanan manusia untuk pulih. Dengan pendekatan visual yang kuat, chemistry antartokoh yang mendalam, serta inisiatif sosial yang nyata, Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis menjadi film yang layak disebut sebagai karya emosional sekaligus edukatif.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
