RADARTVNEWS.COM – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan penolakan atas usulan formula kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang disebut telah menjadi kesepakatan pemerintah dan kalangan pengusaha. KSPI menilai buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan, sehingga keputusan tersebut dianggap cacat secara prinsip dialog sosial.
Presiden KSPI yang juga memimpin Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan perjuangan buruh tetap mengacu pada tuntutan kenaikan 8,5% hingga 10,5%. Ia menyebut angka tersebut telah menjadi rujukan serikat pekerja di berbagai daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan menurutnya sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Iqbal juga menyoroti rencana pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan yang hendak menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan menjelang penetapan UMP. Ia menilai kebijakan itu belum dibahas bersama organisasi buruh. “PP ini belum dibahas dengan serikat pekerja dan baru akan diterbitkan menjelang penetapan upah minimum. Jadi kalau tiba-tiba PP itu diterbitkan, itu ngawur dan ngaco,” ujarnya.
Selain itu, Iqbal menilai pernyataan Ketua Dewan Pengupahan Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim presiden menyetujui formula baru adalah menyesatkan. Ia bahkan menyebut informasi tersebut tidak benar. “Kami menduga itu bohong. Tidak benar Presiden Prabowo setuju terhadap formula baru tersebut,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kebijakan terkait upah seharusnya tidak dibuat secara sepihak. Menurutnya, keputusan yang menyangkut kepentingan buruh harus melibatkan pihak pekerja. Iqbal menilai langkah pemerintah yang seolah ingin menyingkirkan peran serikat pekerja bertentangan dengan semangat dialog sosial dan prinsip keadilan.
BACA JUGA:Buruh Kepung DPR, Tuntut Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah
Said Iqbal menegaskan kembali bahwa kenaikan upah harus mengacu pada tiga indikator, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Ia menyampaikan inflasi dari Oktober 2024 hingga September 2025 berada di angka 2,65% sementara pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12%. Menurutnya, kondisi itu cukup untuk menopang kenaikan yang layak.
Pada tahun sebelumnya, Presiden Prabowo menetapkan indeks tertentu mendekati 0,9 dan kondisi ekonomi saat ini dinilai tidak jauh berbeda. Karena itu, Iqbal menyebut tidak ada alasan menurunkan indeks menjadi 0,2–0,7 sebagaimana isu yang beredar dalam pembahasan UMP 2026.
Menurutnya, langkah penurunan indeks justru akan mempersulit pekerja. Ia menyebut kebijakan tersebut berpotensi menjadi cara untuk menguntungkan pengusaha yang ingin menekan biaya tenaga kerja. “Jika indeks tertentu diturunkan, artinya Menaker justru melindungi pengusaha hitam yang ingin membayar upah murah,” tegasnya.
Iqbal kembali mengingatkan bahwa Presiden Prabowo menekankan pentingnya upah layak untuk meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat, yang berdampak positif pada perekonomian nasional. Ia menilai penurunan indeks justru berlawanan dengan arahan presiden. “Kalau menterinya malah menurunkan indeks jadi 0,2, itu melawan kebijakan Presiden sendiri. Ini kebijakan kapitalistik yang bertentangan dengan visi kerakyatan Presiden,” ujar Iqbal.
KSPI juga menyatakan penolakan terhadap usulan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menginginkan indeks tertentu berada pada kisaran 0,1–0,5. Menurut Iqbal, rumus tersebut akan menghasilkan kenaikan upah yang sangat kecil dan tidak memenuhi kebutuhan dasar pekerja.
Melalui keterangan resmi, Said Iqbal menegaskan bahwa KSPI dan Partai Buruh tetap konsisten memperjuangkan kenaikan yang sesuai kondisi makro ekonomi dan standar hidup layak. Pihaknya meminta pemerintah mengutamakan prinsip keadilan dan memastikan kebijakan UMP tahun 2026 tidak merugikan pekerja yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi.