RADARTV – Memperingati International Women's Day (IWD) 8 Maret 2024, Komunitas Perempuan untuk Keadilan Lampung (KPK) menggelar aksi unjuk rasa di Bundaran Tugu Adipura.
KPK merupakan aliansi strategis pelabagi elemen pro demokrasi di Lampung. Antara lain Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, LMID, SMI, Lampung Ngopi, Walhi Lampung, LBH Bandar Lampung, AJI Bandar Lampung , FKMPI, KBM Polinela serta berbagai Lembaga lain.
Sejumlah orator turun meneriakan sejumlah tuntutan antara lain mendesak pemerintah menghapus segala kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan, melibatkan perempuan dalam pengambilan setiap kebijakan dan mengakomodir kepentingan perempuan dan menuntut pemerintah mewujudkan reforma agraria yang adil gender.
”Menuntut pemerintah memperhatikan isu global yang berdampak pada perempuan, mendesak pemerintah mencabut Omnibus Law, UU No,11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” tegas orator.
Tuntutan lain yakni menuntut pemerintah menjamin relasi yang setara, pengakuan, kesetaraan akses serta lahan bagi perempuan yang terdapat dalam Undang – undang No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Kemudian UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 18/2012 tentang Pangan .
”Menuntut pemerintah menghentikan mekanisasi, homogenisasi pertanian serta kembalikan kearifan lokal pangan perempuan. Lalu agar pemerintah mensahkan RUU PRT, dan RUU Perlindungan Adat, memaksimalkan UU TPKS dan beri jaminan sosial/ rehabilitasi terhadap korban kekerasan sekual,” jelas dia.
KPK juga menuntut pemerintah wujudkan peradilan pidana yang adil bagi perempuan buruh migrant. Momentum IWD ini merupakan salah satu ruang untuk menyuarakan dukungan serta menyampaikan tuntutan dalam perjuangan untuk mewujudkan perlindungan serta kedaulatan perempuan dalam merebut kontrol, akses serta ruang penghidupan perempuan dari lingkaran oligarki di Indonesia.
Sejarah Hari Perempuan Internasional Dunia
Bermula tahun 1857, pertama kali perempuan buruh pabrik tekstil di New York berbaris untuk melakukan protes atas upah yang rendah dan harga pangan yang mahal. Namun, industri bergeming. Mereka menutup mata dan telinga. Dengan asumsi bias gender, mereka menganggap perempuan – perempuan ini hanya mengomel untuk kemudian diam dan kembali bekerja.
Penindasan atas perempuan buruh terus berlangsung dan upah tetap rendah. Lalu puncaknya pada 8 Maret 1907 digerakkan oleh Partai Buruh Amerika, sekitar 15.000 orang berdemonstrasi.
Tak hanya soal upah, mereka menuntut hak untuk bersuara dan berpendapat. Tahun 1975, Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional.
Penetapan ini sebagai tonggak perjuangan perempuan di seluruh dunia untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan dan diskriminasi berbagai gender .
Di Indonesia, partisipasi perempuan masih sulit direalisasikan karena belenggu kekerasan terhadap perempuan yang sistematis dan terstruktur . momen IWD ini menjadi penting bagi gerakan perempuan, karena menjadi seruan terhadap carut marutnya kebijakan pro-oligarki dan tindakan menghancurkan demokrasi yang selama ini dilakukan oleh rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam 2 periode kepemimpinannya.
”DPR tidak menjalankan fungsi checks and balances, sehingga berbagai kebiajkan DPR justru mempersempit kebebasan masyarakat sipil untuk berpendapat. Kebijakan ini justru melapangkan jalan investasi, dengan disahkannya Undang – undang Cipatker, UU Kesehatan, KUHP, UU pemekaran Papua dan Revisi UU ITE tetap diimplementasikan walaupun mendapat penolakan keras dari Masyarakat,” sebutnya dalam rilis.
Kemerosotan di Indonesia tergambar jelas dalam proses Pemilu 2024. Bangsa ini dipertontonkan ketidaknetralan presiden dengan ‘cawe-cawenya” hingga jajaran menteri melakukan pelanggaran etik karena ada konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak berhenti sampai disitu, Presiden Jokowi diduga menjadi aktor utama yang melanggengkan impunitas bagi para penjahat HAM.