Memberangus Media

Kamis 01-02-2024,05:38 WIB
Editor : Hendarto Setiawan

Korupsi yang terjadi di Bank Bapindo yang mencuat pada 1992- 1994 tergolong sebagai skandal keuangan besar pada masanya. 

Kejahatan ini dilakukan Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan alias Eddy Tanzil dengan modus menggunakan katebelece dari pejabat tinggi negara dengan tujuan mendapatkan kredit bank meski agunan yang memadai. Karena penyalahgunaan kredit, Bank Bapindo mengalami kerugian Rp1,3 triliun. 

Angka Rp1,3 triliun merupakan nilai yang sangat besar waktu itu. Bila dikonversi dengan kurs 1992 (USD 1 = Rp 1.700), nilainya setara USD 764.705.882. Kalau dirupiahkan hari ini nilainya menjadi Rp11.470.588.235.294. 

Bapindo tidak membiayai kredit sendirian. Ada tiga bank milik negara yang bergabung dalam konsorsium itu: Bank Dagang Negara (Bank BDN), Bank Expor Impor (Bank Exim) dan Bank Bumi Daya. Karena Bank Bapindo menjadi leader, kasus itu disebut sebagai mega korupsi Bapindo.

Setelah berita korupsi tersebut mereda, pemerintah menggabungkan Bank Bapindo, Bank BDN, Bank Exim, Bank BBD menjadi satu bank baru dengan nama Bank Mandiri. 

Meski banknya sudah diututup, nama Bapindo masih digunakan masyarakat untuk menyebut nama salah satu gedung di SCBD. Posisinya bersebelahan dengan gedung Bursa Efek Indonesia.

Meliput kasus Bapindo bisa dibilang ngeri-ngeri sedap. Pertama, kasus ini menyeret nama Menkopolkam Soedomo, Menteri yang paling ditakuti, karena siap menggebuk siapa saja yang melawan Orde Baru. Kedua, liputan ini mempertaruhkan nasib perusahaan ‘’Jawa Pos’’, karena terbit atau tidaknya ‘’Jawa Pos’’ bergantung pada izin pemerintah. 

Sejak terbitnya Undang-Undang Pers tahun 1966, pemerintah mewajibkan penerbit untuk memiliki dua izin yang berkaitan:

1. Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan. 

2. Surat Izin Cetak (SIC) yang diterbitkan lembaga militer Kopkamtib.

Belakangan, izin disederhanakan menjadi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang dikeluarkan Kementerian Penerangan. Meski demikian, esensinya sama saja. Bila surat izin itu dicabut, tamatlah riwayat media tersebut. 

Meski sudah berhati-hati, banyak juga media yang kepleset, karena tidak jelasnya batasan pelanggaran yang bisa berakibat pembredelan. Suka-suka pemerintah saja. 

Berikut beberapa di antaranya:

Harian Indonesia Raya

SIC Harian Indonesia Raya dicabut pada 21 Januari 1974 disusul pencabutan SIT dua hari kemudian. Mochtar Lubis (pemimpin redaksi) ditahan 2,5 bulan, sedangkan Enggak Bahau’ddin (wakil pemimpin redaksi) ditahan hampir setahun dengan tuduhan terlibat Peristiwa Malari. Mereka akhirnya dibebaskan tanpa syarat.

Harian Kompas

Kategori :

Terkait

Rabu 17-04-2024,11:00 WIB

Rekening Abadi

Senin 19-02-2024,06:52 WIB

MENUNGGU ITB

Senin 12-02-2024,08:37 WIB

SERBA PORANG

Rabu 07-02-2024,04:30 WIB

PERAHU MATAHARI

Selasa 06-02-2024,04:30 WIB

GARA-GARA BERTETANGGA