Fenomena Kesetaraan Gender dari Masa ke Masa

Fenomena Kesetaraan Gender dari Masa ke Masa

Ilustrasi -Foto ; Net-

RADARTVNEWS.COM - Indonesia adalah salah satu negara yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Bahkan ada undang-undang tersendiri yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, karena Indonesia menyadari bahwa kita harus bersifat humanis agar tetap harmonis. Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia, maka kita juga secara tidak langsung ikut membahas tentang problematika gender. Masalah kesetaraan gender ini sudah menjadi pembahasan kontekstual dari zaman dahulu, tanpa adanya pengimplementasian yang jelas dan lugas. Berbagai perspektif diutarakan berbagai pihak, mulai dari penyelenggara pemerintah, lembaga swasta, lembaga pendidikan, hingga lingkup terkecil yaitu ormas. Banyak orang-orang yang salah mengartikan tentang ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak dapat diubah) dengan sifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi sepanjang zaman. Perbedaan gender ini membuat kita berpikir kembali mengenai peran, hak, serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan. kesetaraan gender, lebih universal merujuk pada “kodrat perempuan” yang mana emansipasi wanita belum dijelaskan secara terperinci dan objektif. Padahal, kesetaraan gender adalah membahas tentang persamaan hak, apa peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan serta batasan-batasannya.

Tokoh di Indonesia

Di Indonesia ada Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor kesetaraan gender pada tahun 1908. Yang mana sebagai wujud perlawanan yang pada saat itu terjadi ketidakadilan atau diskriminasi terhadap perempuan. RA Kartini memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terutama di bidang pendidikan. Selain RA Kartini, tokoh lain yang berperan dalam perlawanan ini ada Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika. Di ranah Indonesia sekarang lebih banyak tokoh-tokoh penggebrak kesetaraan gender, mereka menginspirasi dan memotivasi kita untuk melangkah maju dan berani angkat bicara tentang perspektif gender ini. Perempuan butuh validasi, namun akar permasalahan sejak dulu, yang mana perempuan hanya boleh di dapur dan mengerjakan pekerjaan rumah saja, itu harus terbantahkan. Dengan berbekal literasi yang memadai kita sebagai agen of change agar bisa memberikan edukasi kepada khalayak agar mempunyai sikap yang terbuka.

Sri Mulyani, seorang menteri Keuangan Negara Republik Indonesia merupakan salah satu tokoh inspiratif dalam kesetaraan gender. Menurutnya kesetaraan gender bukanlah ancaman bagi laki-laki, beliau mengimbau kepada kaum perempuan untuk berinvestasi dan membekali diri dengan pendidikan yang layak serta pemberdayaan diri. Kesetaraan gender menurut beliau juga bukan dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk maju. Dari perspektif Ibu Sri Mulyani ini yang mana sebagai penyelenggara pemerintah, menjadi tokoh yang berpengaruh terhadap masyarakat sipil untuk selangkah lebih maju menghargai kesetaraan gender. “Salah satu motivasi terbesar adalah untuk membuktikan bahwa perempuan mampu melakukan banyak hal,” kata beliau. Karir Ibu Sri Mulyani sebagai seorang ekonom melambung ketika Indonesia, bahkan dunia mengalami krisi global pada tahun 2008 silam. Beliau mampu mencegah inflasi di Indonesia dengan mengatur serta mereformasi sistem  perpajakan dan menerapkan disiplin anggaran. Dua tahun berselang, pertumbuhan ekonomi nasional jauh lebih membaik. Itu adalah salah satu bukti bahwa kesetaraan gender yang merujuk pada perempuan mampu terealisasikan.

Tak hanya Sri Mulyani, masih banyak lagi para pelopor kesetaraan gender saat ini di Indonesia, salah satunya yaitu Ibu Ririn Hajudiani. Beliau merupakan seorang aktivis pejuang hak perempuan saat ini. Beliau saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) tahun periode 2022 sampai 2026. Ibu Ririn selaku aktivis, ikut mengkritisi tentang kesetaraan gender yang lebih membandingkan sisi feminis perempuan saat ini. Melalui lembaga LPSDM tersebut, beliau melakukan pengorganisasian serta pendampingan maupun penyuluhan yang mengangkat salah satunya tentang isu perempuan terhadap masyarakat marginal atau masyarakat pedesaan di Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lembaga ini bertujuan untuk berkolaborasi dengan pemerintah sehingga menciptakan kebijakan dengan perspektif keadilan gender. Selain Ibu Ririn Hajudiani, tokoh lainnya yaitu ada Titiek Kartika Hendrastiti. Beliau menyampaikan pendapat bahwa, “ketika kita mempelajari isu perempuan, dan keadilan gender sejatinya kita telah turut mengukir sejarah”, ucap Titiek. Beliau merupakan seorang akademisi di jurusan Administrasi Publik, Universitas Bengkulu. Di samping pembahasan intelektual dan kebijakan publiknya, Ibu Titiek juga ikut serta membahas tentang isu perempuan dan keadilan gender. Komitmen serta konsistensinya inilah yang menghantarkannya pada posisi sebagai peneliti senior. 

Kemajuan Teknologi dan Pengaruhnya

Kemajuan teknologi juga tidak mau ikut kalah. Sekarang ini banyak sekali platform, website, maupun artikel yang turut serta membahas isu kesetaraan gender ini. Seperti yang saya kutip dari website jurnalperempuan.org yang membahas tentang tokoh feminis dan pengetahuan feminis Indonesia: Refleksi, Aksi dan Praxis. Saat ini, bukan hanya orang dengan gelar di namanya ataupun para orang terkenal saja yang dapat berargumentasi tentang ranah ini, tetapi kita sebagai masyarakat awam pun bisa dengan berbekal informasi dari berbagai sumber. Namun, kita juga harus menjadi pelaku feminis yang cerdas, tidak terlalu ekstrim terhadap hak-hak dan kewajiban serta batasan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada blogger yang mendoktrin ketidakbenaran kepada masyarakat awam dengan tulisannya, namun tidak sedikit juga para penulis lepas atau konten kreator yang meluruskan ketidakbenaran itu.

Budaya patriarki adalah sebuah sistem yang menilai bahwa laki-laki merupakan pemegang kekuasaan utama, baik dari segi manapun. Sistem ini dapat merubah pola pikir seseorang serta tindakannya, yang mana tidak ada ruang diskusi untuk sosok perempuan. Di Indonesia budaya ini seringkali dijumpai, di mana pada masyarakat tradisional diskriminasi terhadap perempuan sangat terlihat jelas. Bukan berarti masyarakat modern tidak mengenal patriarki, tak jarang juga keduanya masih menerapkan budaya patriarki tersebut. Menurut salah satu teman saya, bernama Alfani Wardani dari jurusan Tadris Bahasa Inggris, berpendapat bahwa kesetaraan gender itu lebih merujuk pada bagaimana perempuan dan laki-laki mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan serta status sosial, bukan tentang bagaimana tugas fisik seorang laki-laki yang dibebankan kepada perempuan. Menurutnya tugas fisik seperti perempuan dapat mencangkul dan mengangkat beban berat, itu adalah kesadaran diri tidak perlu terpaku dengan kesetaraan gender. Namun ketika pendidikan perempuan dan laki-laki serta hak kewajiban perempuan dan laki-laki ada perbedaan, maka itulah yang disebut budaya patriarki dalam kesetaraan gender. Namun pola pikir yang terlalu berlebihan mengenai tuntunan hak kesetaraan dan keadilan gender juga bisa membuat kaum perempuan terlalu menuntut yang nantinya bisa menyalahi kodratnya sebagai seorang perempuan.

Kesetaraan gender sendiri tidak melulu dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama tanpa adanya pertimbangan. Mengingat bahwa isu yang muncul mengenai isu kesetraan gender diartikan menjadi segala sesuatu, baik itu hak maupun kewajiban, mutlak sama dengan laki-laki. Pihak perempuan pastinya tidak akan bisa menanggung tanggung jawab laki-laki, maupun sebaliknya. Maka dari itu, perlu adanya pembangunan yang berkelanjutan yang setiap butir tujuannya tidak lupa menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdaayaan perempuan sehingga perempuan mendapatkan kedudukan yang layak bukan karena rasa iba, tetapi kerja keras memberi pengaruh terhadap sekitarnya.

“Hakikat dari kesetaraan gender adalah memastikan kaum perempuan dan laki-laki memiliki aksesibilitas terhadap sumber daya, serta dapat berpartisipasi dan terlibat dalam proses pembangunan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya. Jika hal ini dilakukan, maka manfaat pembangunan akan dirasakan secara adil dan setara. Kesetaraan gender dapat dicapai dengan merubah paradigma atau pola pikir laki-laki dengan memberi ruang kepada perempuan untuk bersama-sama menjadi subjek dalam pembangunan,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada Talkshow Ketika Laki-laki Bicara Kesetaraan Gender yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA secara virtual.

Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat yang cerdas harus pintar dalam menilai keadilan gender dari berbagai perspektif tokoh, mengamatinya dan menginterpretasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini membuka pola pikir kita terhadap apa saja yang harus diterapkan dalam kesetaraan gender, tidak melulu tentang hak dan kewajiban tetapi juga ranah batasan kodrati manusiawi. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: