asn

Capres tanpa Joget

Capres tanpa Joget

POSTER -joko intarto-

Oleh: Joko Intarto

---

Pada masa Orde Baru, tidak ada calon presiden/wakil presiden yang berkampanye. Apalagi sampai tampil seperti badut. Sistem pemilihan umum dilakukan dengan memilih gambar partai tanpa tahu siapa yang akan dicalonkan partai menjadi presiden/wakil presiden. Joget-joget hanya dilakukan para artis yang menjadi juru kampanye partai.

---

HASIL pemilu multi partai tahun 1955 memperlihatkan bahwa pola kekuatan dan aspirasi politik nasional mengerucut pada partai kanan (agama) partai tengah (pluralis/ sosialis) dan partai kiri (komunis). Karena Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai partai terlarang dan paham komunis tidak boleh hidup di Indonesia, pola kekuatan dan aspirasi politik menyempit menjadi dua saja: Partai agama dan partai pluralis/sosialis. Pada pemilu 1971, pola tersebut terulang lagi.

Setelah pemilu 1971, Orde Baru menyusun konsep fusi atau penyatuan partai-partai berdasarkan pola tersebut. partai-partai Islam disatukan ke dalam partai Persatuan Pembangunan (PPP). partai-partai pluralis/sosialis digabungkan dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI). Orde Baru kemudian membangun kekuatan politik baru yang dinamakan Golongan Karya (Golkar). Birokrat dan militer merupakan penyokong utama Golkar.

Tidak adanya kata ‘’partai’’ pada nama Golkar, membuat sebagian orang mempertanyakan apakah Golkar merupakan partai politik? Wikipedia menulis, Golongan Karya tidak resmi menjadi partai politik hingga tahun 1999, ketika Golkar diperlukan untuk menjadi sebuah partai untuk mengikuti pemilihan umum.

Setelah terjadinya fusi partai politik, pemerintah tidak membuka peluang pendirian partai baru lagi. Dari pemilu ke pemilu, pesertanya hanya tiga saja: PPP, Golkar dan PDI. Rakyat hanya mencoblos gambar partai. Calon presiden/wakil presiden tidak perlu menjadi badut untuk berkampanye keliling Indonesia, karena pemilihan dilakukan dengan voting di gedung MPR, diikuti anggota MPR, DPR, utusan daerah dan golongan.

Dalam pemahaman saya sebagai rakyat biasa, Orde Baru memosisikan Golkar sebagai kekuatan politik pluralis/sosialis/nasional yang mengadopsi Pancasila ciptaan Bung Karno sebagai ideologi. Sedangkan PDI sebagai partai pluralis/sosialis/nasionalis penerus ideologi nasionalisme Bung Karno. Sepertinya Pancasila dan nasionalisme dipromosikan sebagai dua idealisme yang berbeda.

Doktrin Pancasila versi Orde Baru dilakukan sejak anak-anak melalui mata pelajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ciptaan Pak Hato yang berisi 36 Butir-Butir Pancasila. Semua siswa harus hafal semua butirnya, karena menjadi bahan ujian. Pengetahuan dianggap P4 sama pentingnya dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung).

Di luar sekolah, Orde Baru juga membentuk badan khusus bernama Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat BP7), lembaga negara yang mengoordinasi pelaksanaan pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Badan ini dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 oleh Presiden Soeharto untuk menyebarkan P4 dan Butir-Butir Pancasila kepada tokoh masyarakat, organisasi, pemuda dan komunitas. Doktrinasi diberikan melalui kursus, pelatihan dan seminar.

Doktrin Pancasila juga dilakukan melalui kegiatan kebudayaan. Salah satunya adalah memproduksi film layar lebar berjudul G-30-S PKI pada tahun 1984. Semua siswa sekolah dari SD, SMP dan SMA diwajibkan menonton di bioskop-bioskop. Yang sudah menonton saat SMP, tetap wajib menonton lagi ketika masuk SMA. Stasiun TV pemerintah maupun swasta diwajibkan memutar film ini setiap tanggal 29 September.

Untuk semakin memperkuat posisinya sebagai pengawal Pancasila, Orde Baru pada 1985 menetapkan ‘’asas tunggal’’ sebagai ‘’satu-satunya ideologi’’ dalam berserikat dan berkumpul. Semua jenis organisasi masyarakat yang sudah eksis harus mengganti asas dalam AD/ART-nya menjadi Pancasila. Penolakan bermunculan. Tapi Orde Baru terlalu kuat untuk dilawan.

Begitu kuatnya cengeraman Orde Baru, sampai-sampai muncul berbagai isu yang dikait-kaitkan dengan Golkar. Misalnya, seorang pegawai negeri sipil (PNS/ASN) pangkatnya tidak naik-naik, karena dia dan keluarganya tidak mencoblos Golkar saat pemilu. Konon kertas suara untuk PNS dan keluarganya sudah ditandai (entah dengan tanda apa).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: