JALAN PANJANG PENGABDI GUNUNG GIJUL, Menjaga Hutan Bhinneka : Tebang 1 Ganti Tanam 100 Pohon

JALAN PANJANG PENGABDI GUNUNG GIJUL,  Menjaga Hutan Bhinneka : Tebang 1 Ganti Tanam 100  Pohon

ORANG seperti Feri Ferdiyansah merupakan sosok kepala desa langka di Republik Indonesia. Dia tahu benar prinsip-prinsip menjaga hutan agar senantiasa lestari dan bermanfaat. Tidak hanya bagi warga Desa Gunung Gijul. Tapi juga untuk warga desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan Bangsa Indonesia sebagai penerima manfaat. Bagaimana kisah suka dan duka menjaga hutan seluas 1.500 hektar lebih ini tetap lestari ? Hendarto Setiawan : Lampung Utara, Provinsi Lampung Suara symphalangus syndactylus atau siamang membahana di seantero hutan Gunung Gijul, seiring mulai munculnya sang raja siang di ufuk Timur. Celoteh primata dan ragam burung di Desa Gunung Gijul, Kecamatan Abung Tengah. Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung ini merupakan keragaman hayati dan sebagai penanda hutan seluas 1.540 hektar itu asri terjaga. Perjuangan menjaga dan menghijaukan kembali hutan desa  bukanlah perkara mudah. Butuh semangat, kerja keras, dan keteladanan aksi nyata. Adalah Feri Ferdiansyah, Kepala Desa Gunung Gijul ini merupakan pelopor penggerak aksi menjaga lingkungan. Solat Subuh sudah ditunaikan. Dingin kabut di musim kemarau mendekap erat seisi hutan. Namun, Feri sudah menyiapkan peralatan perkebunan. Dia bersiap memimpin aksi gotong royong, menanam pohon penghijauan di sejumlah titik hutan. Usai mereguk habis kopi khas Gunung Gijul dibalut gula semut aren. Dia sudah menyambut warga, peserta wajib program reboisasi. Aneka bibit pokok tanaman keras sudah disiapkan. Ada bibit Albasia atau Sengon, Suren, dan Jati. Mereka mulai bergerak menyusuri daerah punggungan di atas tubir sungai. ”Program gotong royong berjalan terus berjalan. Untuk pelestarian lingkungan hidup, bersama sama warga menanam tanaman keras di aliran sungai. Untuk kelompok wanita tani (KWT) menanam buah buahan dan sayur mayor di kebun desa,” ujar Fery sambil menyeka keringat yang menganaksungai. Fery sadar benar akan kelestarian hutan. Bersama aparat desa, dibuatlah Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2016.   Payung hukum konservasi hutan ini melindungi 261 kepala keluarga dan 774 jiwa. Dengan empat suku terbesar yakni Ogan Sumatera Selatan, Jawa, Sunda dan Lampung. Termasuk warga pemeluk agama Islam dan Kristen. ”Sumber air dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan air bersih bagi ribuan warga di desa dan kecamatan penyangga di sekitar Gunung Gijul,” urainya berbinar. Penegakan perdes ini tak main main. Terdapat sanksi tegas, hingga membuat warga jera. Seperti dialami oleh Roni Pranata. Pria 35 tahun ini bersama 4 warga lain, pernah suatu ketika tertangkap basah sedang menebangi pohon di areal hutan. Mereka dinyatakan terbukti bersalah dan diminta menanam kembali 500 batang bibit pohon. Dengan hitungan satu batang yang ditebang maka harus menanam 100 pohon baru. Belum lagi denda uang tunai untuk kas desa. ”Sudah tobat. Karena kalau sampai ketangkap lagi. Hukumannya, kami disuruh angkat kaki dari desa,” ujar Roni mengenang kisahnya. Keteladanan menjaga hutan di atas semangat Bhinneka oleh Feri Ferdiansyah tak sampai disitu.     Sebagai desa terpencil dia mencoba memerdekakan warga dari belum masuknya aliran listrik. Memanfaatkan sumber daya air melimpah. Dibuatlah turbin pembangkit listrik tenaga air sederhana. ”Alhamdulillah, kami sudah merdeka dari kegelapan. Listrik swadaya buat penerangan dan anak anak belajar saat malam hari,” tutur Darmawi, tokoh adat. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: