Fatherless dan Sandwich Generation: Dua Luka Tak Terlihat di Balik Wajah Anak Indonesia

Rabu 23-07-2025,13:53 WIB
Reporter : MG 03 Hairun Nisa Napitupulu
Editor : Hendarto Setiawan

BANDAR LAMPUNG, RADARTVNEWS.COM - Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan transformasi sosial, ada dua luka sunyi yang nyaris tak terdengar dalam narasi besar bangsa, yaitu fenomena fatherless dan tekanan menjadi sandwich generation. Keduanya menjadi beban tak kasatmata yang berpengaruh langsung terhadap tumbuh kembang anak Indonesia.

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Namun, perayaan ini sering kali hanya berupa simbol dan seremonial. Padahal, isu seperti fatherless dan sandwich generation seharusnya masuk dalam diskusi besar soal perlindungan anak.

 

Istilah fatherless tak selalu berarti anak yang ditinggal mati atau hasil perceraian. Di Indonesia, ia juga mengacu pada anak-anak yang tumbuh dengan figur ayah yang tidak hadir secara emosional maupun psikologis.

 

Penelitian dari National Fatherhood Initiative (NFI) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak-anak tanpa keterlibatan ayah lebih rentan terhadap masalah perilaku, depresi, prestasi akademik rendah, hingga risiko kriminalitas. Tren serupa mulai terlihat di kota-kota besar Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, hingga Lampung.

BACA JUGA:Tragedi di Tengah Liburan, Ayah Menghilang di Pantai Labuhan Jukung, Anak dan Istri Selamat

Masalah semakin kompleks saat kita bicara soal generasi produktif saat ini terutama mereka yang berusia 25–40 tahun yang tergolong dalam sandwich generation. Mereka adalah generasi yang menanggung kebutuhan orang tua dan anak-anak sekaligus, seringkali tanpa dukungan finansial atau emosional yang memadai.

 

Menurut laporan riset OCBC NISP Financial Fitness Index (FFI) 2023 menunjukkan bahwa sekitar 54% generasi muda Indonesia termasuk dalam sandwich generation dengan tanggung jawab membiayai tiga generasi. Tekanan ganda ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan finansial, tetapi juga pada kualitas pengasuhan. Orang tua yang lelah, stres, dan emosional tidak stabil cenderung kesulitan membangun hubungan yang sehat dengan anak. Akibatnya, anak kembali menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak pada keseimbangan kehidupan keluarga.

 

Kondisi ini tercermin di Provinsi Lampung. Berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) Kementerian PPPA menunjukkan sepanjang 2024 ada 614 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Lampung, dengan 384 kasus terjadi di lingkungan rumah tangga. Dari total korban, 416 berasal dari rumah tangga, menunjukkan tempat kejadian paling dominan adalah rumah tangga yang cenderung tidak sehat secara emosional

BACA JUGA:Mengapa Keluarga Sempurna Sulit Dicapai? Kasus KDRT di Lampung Jadi Alarm Bahaya

Data ini menunjukkan bahwa rumah, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak, justru menjadi tempat dengan potensi kekerasan tertinggi. Banyak keluarga yang rapuh secara emosional akibat tekanan ekonomi, minimnya keterlibatan ayah, dan kurangnya dukungan sistemik.

Kategori :