Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Menghargai Jasa atau Mengabaikan Pelanggaran HAM?

Jumat 25-04-2025,14:47 WIB
Reporter : Seftia Zeudiswara S.
Editor : Jefri Ardi
Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Menghargai Jasa atau Mengabaikan Pelanggaran HAM?

JAKARTA, RADARTVNEWS.COM- Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mengundang perdebatan luas di tengah masyarakat. 

 

Usulan ini mengemuka setelah Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) merekomendasikan sepuluh nama tokoh bangsa, termasuk Soeharto, untuk menerima gelar tersebut pada tahun ini. 

 

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyampaikan bahwa pengajuan nama-nama tersebut dilakukan melalui serangkaian proses, mulai dari seminar, masukan dari masyarakat, hingga pendapat dari para sejarawan dan tokoh daerah.

 

Menurut Saifullah, secara administratif Soeharto tidak lagi memiliki kendala hukum untuk diajukan sebagai pahlawan nasional, terutama setelah keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yang sebelumnya menghambat pengusulan tersebut telah dicabut. Ia menekankan bahwa pemerintah terbuka terhadap kritik dan aspirasi masyarakat. 

 

“Nama Soeharto sudah beberapa kali diusulkan menjadi pahlawan nasional. Namun ketika itu menemui kendala karena adanya Tap MPR soal korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun setelah Tap MPR tersebut dicabut, usulan Soeharto sebagai pahlawan sudah memenuhi syarat normatif,” ujar Saifullah.

 

Hal senada disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Ia menilai bahwa memberikan penghargaan kepada mantan presiden bukanlah hal yang luar biasa dan seharusnya dilihat dari kontribusi besar yang telah diberikan. 

 

Ia juga mengimbau agar masyarakat tidak hanya menyoroti sisi negatif, tetapi juga mengakui jasa-jasanya dalam membangun negara.

 

Namun demikian, banyak pihak menyatakan penolakan keras terhadap usulan tersebut. Kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, serta para korban pelanggaran HAM menyuarakan keberatannya. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai bahwa langkah tersebut tidak mempertimbangkan luka sejarah yang masih membekas. 

Kategori :