RADARTVNEWS.COM - Fenomena "beli sekarang, bayar nanti" atau paylater telah mengubah pandangan keuangan Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap kesehatan finansial masyarakat.
Menurut data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penggunaan layanan paylater di Indonesia melonjak sampai Rp. 26,37 triliun per Agustus 2024. Jumlah ini terus bertambah dibanding bulan Juli 2024 lalu sebesar Rp. 25,82 triliun.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Riset Keuangan Nasional menunjukkan bahwa 70% pengguna paylater berusia 18-35 tahun, dengan rata-rata utang sebesar Rp 5 juta per orang.
Dilihat kenaikan penggunaan pay later ini terjadi di tengah deflasi dalam empat bulan berturut-turut yang terjadi sejak Mei-Agustus 2024.
OJK mencatat, hutang pembiayaan Pay Later oleh perusahaan Pembiayaan atau multifinance per Agustus 2024 meningkat sebesar 89,29% yoy menjadi Rp7,99 triliun. Jumalah ini juga meningkat dari bulan lalu, yang mencatat kenaikan 73,55% yoy per Juli 2024.
Paylater dapat diibaratkan seperti gula-gula finansial, yang terasa manis di awal, tapi bisa pahit di kemudian hari. Banyak anak muda tergoda dengan kemudahan berbelanja tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang.
Dania (23), seorang karyawan swasta, menjadi contoh nyata. "Awalnya saya pikir paylater membantu memenuhi kebutuhan. Tapi lama-lama jadi kecanduan. Sekarang setengah gaji habis untuk bayar cicilan," ungkapnya.
Namun, tidak semua kisah berakhir suram. Wirausaha muda Marisa (26), berhasil memanfaatkan paylater untuk mengembangkan bisnisnya. "Kuncinya adalah disiplin dan perencanaan matang. Saya gunakan paylater untuk modal usaha, bukan foya-foya," jelasnya.
Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa paylater adalah sebuah istilah yang menuju pada transaksi pembayaran dan jasa. Pada dasarnya paylater adalah layanan untuk menunda pembayaran atau berhutang yang wajib dilunasi oleh pengguna dalam jangka waktu tertentu.
Banyak yang mengkaitkan fenomena kenaikan ini dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out) di era digital. Sebab, banyak anak muda yang terjebak dalam gaya hidup ‘Instagram-able’ atau ‘standar TikTok’ sehingga mengalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sementara itu, gerakan #BijakBerutang mulai viral di media sosial. Dipelopori oleh influencer keuangan, kampanye ini mengajak anak muda untuk lebih cerdas dalam mengelola keuangan pribadi.
"Paylater bukan musuh, tapi bisa jadi bumerang kalau tidak bijak," tutur Rafi, salah satu inisiator gerakan. "Kami ingin edukasi tentang risiko dan manfaat, bukan melarang total."
Ke depannya, ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menyeimbangkan antara inovasi finansial dan perlindungan konsumen.
Apakah generasi muda RI akan tenggelam dalam "utang manis" atau justru bangkit menjadi generasi yang melek finansial? Dan apakah paylater akan menjadi pendorong ekonomi digital atau justru menciptakan krisis utang baru? Hanya waktu yang bisa menjawab.