RADAR TV - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Bandar Lampung mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 125. Kasus tersebut tercatat selama periode 1 Januari hingga 31 Desember 2023.
Kepala Dinas PPPA Kota Bandar Lampung, Maryamah menyampaikan kasus kekerasan itu meliputi kekerasan terhadap perempuan sebanyak 42 kasus dan kekerasan terhadap anak 83 kasus.
Dari berbagai kasus yang terjadi kekerasan terhadap perempuan didominasi dari kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), sementara itu kekerasan seksual marak terjadi terhadap anak.
Dengan rincian kekerasan terhadap perempuan berupa kekerasan fisik mencapai 2 kasus, KDRT 22 kasus, kekerasan seksual 10, penelantaran keluarga 2, perebutan hak asuh anak 3, kekerasan berbasis gender online 1 dan TPPO 2 kasus.
Sementara kekerasan terhadap anak berupa kekerasan fisik 7 kasus, kekerasan seksual 67 kasus, TPPO 2 kasus, penelantaran anak 1 kasus, bullying 1 kasus dan lainnya atau konseling 5 kasus.
Kadis PPPA itu menyebutkan data tahun 2023 mengalami penurunan dari tahun 2022 dengan 136 kasus.
“Jika dibandingkan tahun lalu, kasus kekerasan Perempuan dan anak di kota Bandar Lampung turun, Tahun 2022 mencapai 136 kasus, di Tahun 2023 ini tercapat 125 kasus. Mudah-mudahan trendnya terus menurut,” ungkap Maryamah
Meski demikian ia mengakui jika jumlah kasus kekerasan Perempuan dan anak di Bandar Lampung masih tinggi mencapai seratus lebih.
Diketahui data kekerasan perempuan dan anak tersebut, didapat dari Dinas PPPA Kota Bandar Lampung, Polresta Bandar Lampung, UPTD PPPA Provinsi Lampung, RSUD A Dadi Tjokrodipo, RSUD Abdoel Moeloek. Polda Lampung, PKBI Kota Bandar Lampung, Lembaga Pemerhati Perempuan dan Anak Kota Bandar Lampung.
Sementara itu, Psikolog Universitas Malahayati Dewi Lutfianah menilai bila masih tingginya kasus kekerasan perempuan dilatar belakangi banyak faktor yang menyebabkan perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dibanding laki-laki, salah satunya bahwa asumsi atau konstruksi sosial masyarakat yang menganggap perempuan lebih lemah.
"Ada ketergantungan finansial, emosional, atau ketergantungan sosial di mana mungkin ada ekspresi-ekspresi yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak berdaya," ungkap Dewi, Sabtu, (20/1/2024).
Dalam pranata sosial, perempuan kerap kali ditempatkan sebagai tokoh yang harus mengalah. Dewi juga menekankan bahwa perempuan yang telah menjadi korban kekerasan rentan mengalami kekeresan sekunder
"Kekerasan itu sendiri terjadi, kerap diikuti dengan kekerasan sekunder misalnya, banyak orang berpendapat bahwa penyebab kekerasan tersebut karena perempuan," ujar Dewi.
Ia mengatakan bahwa terdapat profil psikologis yang khas yang membuat seorang perempuan rentan terhadap kekerasan. Selain akibat ketergantungan emosional, finansial, atau sosial, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan akibat pola asuh.
Pola asuh keluarga yang salah dapat melahirkan bibit kekerasan pada anak di masa depan. Entah kelak ia akan menjadi korban yang menoleransi kekerasan, atau bahkan menjadi pelaku.