BANNER HEADER DISWAY HD

Laki-Laki Menangis: Apakah Benar Menghapus Stigma Maskulinitas?

Laki-Laki Menangis: Apakah Benar Menghapus Stigma Maskulinitas?

Ilustrasi --ISTIMEWA

RADARTVNEWS.COM – Laki-laki sering dibesarkan dengan keyakinan bahwa mereka tidak boleh menunjukkan kelemahan, termasuk melalui tangisan. Kalimat seperti “laki-laki jangan cengeng” masih kerap terdengar, seolah-olah air mata adalah simbol kelemahan.

Padahal, tangisan adalah respons emosional alami yang dimiliki semua manusia, tanpa memandang gender. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah menangis pada laki-laki benar-benar dapat menghapus stigma maskulinitas yang selama ini melekat?

Kebiasaan ini berakar dari konstruksi sosial tentang maskulinitas yang identik dengan kekuatan dan keteguhan. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan kebiasaan menekan perasaan mereka sendiri.

Padahal, penelitian psikologi menunjukkan bahwa menekan emosi justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental, bahkan berpotensi memicu stres berkepanjangan dan depresi.

Menangis seharusnya tidak dipandang sebagai kelemahan. Sebaliknya, air mata dapat berfungsi sebagai katarsis atau pelepasan beban emosional. Dari sisi biologis, menangis mampu menurunkan kadar hormon stres seperti kortisol, sekaligus memberikan efek tenang bagi tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa menangis adalah mekanisme alami yang justru membantu seseorang menghadapi tekanan psikologis.

BACA JUGA:Hati-Hati! Pose Dua Jari di Turki Bisa Bikin Masalah, Ini Alasannya

Fenomena ini perlahan mengubah cara pandang masyarakat. Bahwa laki-laki pun memiliki hak untuk menunjukkan sisi rapuhnya tanpa harus kehilangan harga diri. Justru dengan berani mengekspresikan perasaan, seseorang menunjukkan kedewasaan emosional.

Stigma maskulinitas mulai dipertanyakan kembali. Generasi muda semakin sadar bahwa maskulinitas bukan berarti menekan emosi, melainkan mampu mengelola perasaan secara sehat.

Laki-laki yang mampu mengakui kesedihannya dan berani menangis, sesungguhnya sedang menunjukkan keberanian untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Meski begitu, perubahan cara pandang ini tidak selalu mudah. Masih ada lingkungan sosial yang menganggap air mata pria sebagai tanda kelemahan. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan ruang yang lebih inklusif, di mana laki-laki bisa mengekspresikan emosinya tanpa rasa takut akan stigma.

Pada akhirnya, menangis bukanlah persoalan gender, melainkan persoalan berekspresi. Baik pria maupun wanita berhak untuk meluapkan emosi dengan cara yang sehat.

Jika tangisan laki-laki bisa membantu menghapus stigma maskulinitas yang sempit, maka hal itu adalah langkah maju menuju masyarakat yang lebih peduli akan kesehatan mental.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: