Empat Mahasiswa UI Gugat UU Kementerian Negara karena Celah Rangkap Jabatan Menteri
--
RADARTVNEWS.COM – Empat mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Mereka mempermasalahkan Pasal 23 huruf c dalam UU tersebut karena dianggap membuka peluang menteri merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
Gugatan ini didaftarkan pada 6 Maret 2025 dengan Nomor Perkara 35/PUU-XXIII/2025 dan mendapat perhatian publik karena menyangkut integritas dan profesionalisme pejabat eksekutif di Indonesia.
Keempat mahasiswa itu adalah Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, dan Keanu Leandro Pandya Rasyah dari Fakultas Hukum UI, serta Vito Jordan Ompusunggu dari Fakultas Ilmu Administrasi UI.
Mereka didampingi oleh tim kuasa hukum yang terdiri dari Abu Rizal Biladina, Hafsha Hafizha Rahma, dan Jhonas Nikson, yang sebagian besar juga masih berstatus mahasiswa FH UI.
Dalam permohonan yang mereka ajukan, para mahasiswa menilai bahwa Pasal 23 huruf c tidak secara tegas melarang menteri menjadi pengurus partai politik. Menurut mereka, ketentuan tersebut justru memberikan ruang terjadinya rangkap jabatan yang dapat merusak sistem pemerintahan.
“Dengan terus berlangsungnya praktik rangkap jabatan menteri sebagai pengurus partai politik, tentunya menciptakan pemerintah yang tidak ideal,” tulis para pemohon dalam dokumen permohonan. Mereka menyebutkan bahwa praktik ini melanggar hak konstitusional warga negara atas pemerintahan yang bersih, efisien, dan bebas dari konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D dan Pasal 28H UUD 1945.
Abu Rizal Biladina sebagai kuasa hukum menambahkan bahwa “para menteri yang melakukan praktik korupsi sebagian besar merupakan menteri yang rangkap jabatan sebagai pengurus parpol sehingga hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.”
Ia menegaskan bahwa rangkap jabatan menteri dan pengurus partai politik dapat melemahkan prinsip check and balances serta membuat fungsi eksekutif tidak independen dari kepentingan politik.
Para pemohon juga menyebut bahwa dalam beberapa pemerintahan terakhir, banyak menteri yang merangkap sebagai pengurus partai. Di Kabinet Indonesia Bersatu II misalnya, ada enam menteri yang merangkap jabatan di partai politik, dan jumlah itu meningkat dalam Kabinet Indonesia Maju dan Kabinet Merah Putih.
Mereka menyoroti bahwa “parpol yang sebelumnya tidak mendukung, saat bergabung ke koalisi selalu mendapat jatah menteri,” yang menurut mereka menunjukkan praktik politik yang terlalu pragmatis dan berdampak buruk pada efektivitas pemerintahan.
Rangkap jabatan ini, menurut mereka, berakibat pada menurunnya kualitas pelayanan publik dan melemahnya demokrasi. Mereka berpendapat bahwa pemilihan menteri lebih banyak berdasarkan pertimbangan politik daripada profesionalisme, yang membuat menteri kurang fokus menjalankan tugas negara.
“Praktik rangkap jabatan menteri sebagai pengurus parpol tidak hanya menyebabkan terdegradasinya fungsi check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga menyebabkan maraknya praktik pragmatisme parpol,” ungkap mereka.
Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara sebenarnya melarang menteri rangkap jabatan di organisasi yang dibiayai APBN atau APBD, namun tidak menyebutkan larangan terhadap jabatan di partai politik. Ketidakjelasan ini dianggap sebagai celah hukum yang berisiko menimbulkan konflik kepentingan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
