BANNER HEADER DISWAY HD

DPR Usul Rekam Jejak Pelaku Bullying Ditampilkan Saat Daftar Kampus, Contoh Kebijakan Korea Selatan

DPR Usul Rekam Jejak Pelaku Bullying Ditampilkan Saat Daftar Kampus, Contoh Kebijakan Korea Selatan

Ilustrasi --ISTIMEWA

RADARTVNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati, mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan serupa yang akan diterapkan di Korea Selatan yakni memperlihatkan riwayat pelaku bullying ketika mendaftar ke perguruan tinggi. Langkah ini dinilai bisa menjadi bentuk “rem sosial” untuk menekan perundungan di lingkungan pendidikan. 

Menurut Esti, fenomena bullying di Indonesia bukan sekadar persoalan kedisiplinan individu, tetapi merupakan masalah sistemik yang berkaitan dengan budaya sekolah, kesehatan mental siswa, serta kapasitas guru dalam menangani konflik. Oleh sebab itu, regulasi yang ada dinilai belum cukup diperlukan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengawasan, mekanisme pelaporan yang jelas, serta sanksi nyata agar perundungan benar-benar dapat ditindak. 

BACA JUGA:Melawan Bullying: Peran Orang Tua dan Guru dalam Melindungi Anak

Kebijakan ini terinspirasi dari langkah di Korea Selatan, di mana mulai 2026 seluruh perguruan tinggi akan mewajibkan pencantuman catatan kekerasan atau bullying dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Sejumlah universitas ternama di Korsel telah memulai kebijakan ini sejak 2025. Dalam seleksi tahun tersebut, enam dari sepuluh universitas nasional besar menolak sekitar 45 pelamar yang memiliki catatan bullying meskipun nilai akademik mereka tinggi. 

Sebagai contoh, dari 22 pelamar yang ditolak oleh Kyungpook National University karena catatan bullying; sementara Seoul National University (SNU) menolak dua pelamar pada jalur reguler meski keduanya memiliki skor bagus pada Ujian Masuk. 

Jenis pelanggaran bullying yang diperhitungkan beragam mulai dari kekerasan fisik dan verbal, perundungan kelompok, hingga cyberbullying. Di Korea, pelanggaran sudah diklasifikasikan dalam beberapa level (Level 1–9), di mana pelanggaran berat seperti pengeluaran dari sekolah akan dicatat secara permanen. 

BACA JUGA:Tragedi Zara Qairina Dari Bullying, Menuju Kematian Publik Menuntut Keadilan

Tujuan kebijakan ini adalah memberi sinyal bahwa kampus menilai karakter dan integritas siswa sama pentingnya dengan prestasi akademik. Dengan demikian, pelaku bullying mendapat sanksi sosial nyata: tertolak masuk universitas, kehilangan kesempatan pendidikan tinggi sehingga diharapkan ada efek jera. 

Meski gagasan itu dianggap menarik, para pengamat menilai penerapannya di Indonesia tidak bisa langsung meniru 1:1. Sistem dokumentasi perilaku siswa secara nasional, seperti di Korsel, hingga kini belum tersedia secara menyeluruh di Indonesia. Akibatnya, pelabelan sebagai “pelaku bullying” berpotensi menimbulkan stigmatisasi atau kesalahan data jika tidak dibarengi mekanisme yang kuat dan adil. 

Di sisi lain, revisi Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) sedang digodok untuk mencakup bab khusus perlindungan terhadap pelajar dari bullying dan kekerasan di sekolah. RUU tersebut dipandang sebagai kerangka hukum penting untuk mencegah dan menangani perundungan secara struktural. 

Usulan meniru kebijakan Korea Selatan dengan mencantumkan riwayat pelaku bullying pada proses masuk perguruan tinggi memang dapat menjadi “alarm sosial” terhadap fenomena bullying. Namun, agar kebijakan itu efektif dan adil, Indonesia perlu membangun sistem dokumentasi perilaku siswa yang andal, serta memastikan mekanisme pelaporan, rehabilitasi, dan perlindungan hak anak berjalan dengan baik.

Sebagai langkah awal, selain regulasi dan SOP di sekolah, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, sekolah, orang tua, serta lembaga perlindungan anak agar lingkungan pendidikan benar-benar aman dan menjunjung martabat siswa.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: