Apa Arti The Society of Spectacle yang Disebut Rocky Gerung Penonton Mulyono dan Mulyadi? Ini Penjelasannya!
--
RADARTVNEWS.COM – Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas, pernyataan menarik muncul dari pengamat politik Rocky Gerung.
Dalam diskusi bertema "Dulu Mulyono, Kini Mulyadi", Rocky menyebut fenomena The Society of the Spectacle sebagai isu yang lebih penting untuk diperhatikan.
ILC edisi tersebut menghadirkan beberapa tokoh publik seperti Ketua Umum Rampai Nusantara Mardiansyah Semar, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Ono Surono, politisi PSI Ade Armando, praktisi komunikasi Rudi S. Kamri, Wakil Ketua Umum Projo Freddy Alex Damanik, serta Rocky Gerung sendiri.
Rocky menyampaikan bahwa dirinya enggan membahas karakter atau strategi komunikasi Dedi Mulyadi, karena menurutnya, perbandingan yang muncul hanya antara Dedi dan sosok Mulyono.
Ia menyarankan agar perbandingan dilakukan terhadap tokoh besar seperti Bung Karno, yang dikenal dengan retorika kuat namun tetap logis dan terbuka untuk debat.
Yang menjadi kekhawatiran Rocky bukanlah kedua figur publik itu, melainkan para penontonnya. Ia menilai bahwa penonton Dedi Mulyadi dan Mulyono sama-sama terjebak dalam ketertarikan terhadap hal-hal yang bersifat dangkal.
Fenomena ini ia sebut sebagai bagian dari The Society of the Spectacle, sebuah konsep yang berasal dari pemikir radikal Prancis, Guy Debord.
Dalam tanggapannya, Rocky menyinggung latar belakang Ade Armando sebagai akademisi komunikasi, dan mengaitkannya dengan konsep Debord yang menyatakan bahwa masyarakat saat ini lebih suka mengonsumsi sesuatu yang dangkal, atau spectacle semata—penampakan kosong tanpa substansi.
Konsep The Society of the Spectacle pertama kali dikembangkan oleh Guy Debord dalam bukunya tahun 1967 yang juga diadaptasi menjadi film pada 1973.
Pemikirannya menyoroti bagaimana masyarakat modern dipenuhi oleh tontonan yang menciptakan ilusi, menjauhkan publik dari realitas material dan membius massa agar tetap jinak demi kepentingan elite.
Menurut Debord, spectacle bukan sekadar hiburan atau iklan, tapi telah berkembang menjadi cara pandang terhadap dunia: masyarakat dimediasi oleh imaji yang membentuk hubungan sosial.
Dunia yang tampak di mata kita sebenarnya hanyalah hasil konstruksi simbolik yang menutupi kenyataan sosial dan ekonomi.
Dalam film dan bukunya, Debord menyajikan gagasan-gagasan dalam bentuk fragmen naratif yang saling berdiri sendiri namun saling membangun. Ia menggunakan narasi yang padat dengan berbagai kutipan dan referensi dari film-film klasik karya Orson Welles, Nicholas Ray, Sergei Eisenstein, hingga John Ford—semuanya dimasukkan dalam konteks baru untuk membongkar kekuatan tontonan itu sendiri.
Konsep détournement atau pembelokan makna, yang diperkenalkan Debord, menjadi alat untuk mengalihkan fungsi asli suatu karya ke dalam kritik sosial. Ia menolak logika hiburan yang pasif, dan berusaha menciptakan benturan antara teks dan gambar agar penonton berpikir kritis, bukan sekadar bereaksi emosional.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
